Kolom
Quasi-Ideologi Partai Politik
Majalah GATRA, Edisi 12, 22 Januari 2015
A. Bakir Ihsan
Eksistensi partai politik
di negeri ini cenderung bergerak sentrifugal. Perilaku partai cenderung menjauh
dari titik ideologisnya. Konflik partai bukan hanya mencerminkan kegagalan
fungsinya, tapi memonumenkan pragmatisme di atas segalanya. Konflik internal
partai, seperti yang sedang melanda Partai Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) maupun antar partai seperti antara Koalisi Merah Putih (KMP)
dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), hanya puncak dari gunung es kegagalan partai
melembagakan diri nir-ideologi. Konflik tersebut merupakan rangkaian antagonisme
kepentingan tanpa manajemen pengelolaan organisatoris di tengah nafsu elite
partai yang liar.
Mengabaikan fungsi ideologi
yang sejatinya menjadi pijakan orientasi, eksplanasi sekaligus diferensiasi,
dan evaluasi mengantarkan partai berkubang dalam konflik kepentingan jangka
pendek dan recehan. Konflik instan dan murahan karena berebut kursi dan posisi tanpa
ikatan ideologis. Fungsi-fungsi ideologi didistorsi oleh amalan berjarak bahkan
terpisah dari ideologi. Inilah yang melahirkan potret partai kita saat ini. Kalau
demikian, masih adakah harapan peran ideologis partai?
Gairah Ideologi
Sepak terjang partai politik di era
reformasi memperlihatkan dinamika yang komplek. Hal ini bisa disebabkan oleh
proses pencarian di tengah kegamangan antara kemestian mengartikulasi
kepentingan publik dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya, antara
kepentingan ideologis dan kepentingan pragmatis.
Di awal reformasi irisan ideologi
partai relatif terlihat. Paling tidak dari beberapa fakta menunjukkan adanya
kontestasi ideologis khususnya antara partai Islam dengan partai lainnya. Pertama,
pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden yang dimunculkan oleh
partai-partai Islam dengan menamakan diri poros tengah. Kedua, adanya
usulan pembahasan kembali Piagam Jakarta dalam proses amandemen UUD 1945 pada
tahun 2002. Usulan tersebut digagas oleh tiga fraksi partai politik Islam di
MPR, yaitu Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Perserikatan Daulatul Umat dan
mendapat dukungan dari partai politik Islam yang bergabung dengan Fraksi
Reformasi, yaitu Partai Keadilan. Ketiga, pembahasan undang-undang sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas) yang terkait dengan pasal 12 ayat 1a tentang
pelajaran agama yang harus diberikan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan
oleh guru yang seagama.
Bagitu pada periode 2004-2009,
sebagaimana temuan dalam penelitian disertasi saya 12 Januari lalu, warna ideologi
masih tecermin dalam perdebatan
legislasi dengan intensitas dan formulasi yang beragam. Dalam pembahasan 3 RUU
di DPR pada periode tersebut, RUU Pornografi, RUU Kesehatan, dan RUU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (PDRE) menunjukkan adanya relasi ideologis,
khususnya PPP sebagai partai berasaskan Islam. Paling tidak hal tersebut
didasarkan pada dua konsep formulasi nilai-nilai Islam (tathbiq al-syari’ah)
sebagai landasan perjuangan PPP.
Pertama, nilai-nilai Islam universal yang diyakini tidak
hanya oleh umat Islam, tapi juga umat manusia secara keseluruhan. Nilai-nilai
tersebut seperti keadilan, kejujuran, kebersamaan, persatuan, kesetaraan di
depan hukum, dan HAM. Nilai-nilai ini lebih bersifat substantif dan universal.
Kedua, nilai-nilai yang hanya diyakini oleh seluruh
umat Islam. Hal ini terkait dengan hukum fiqih, seperti larangan memamerkan
aurat di ranah publik, larangan perzinahan, haramnya minuman keras, dan
lainnya. Nilai-nilai ini lebih bersifat simbolik dengan mengacu pada standar
verbal di dalam Alquran, hadis, maupun ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Dua formulasi ini merupakan bagian
dari ideologi yang menurut Maurice Duverger (2005) sebagai upaya rasionalisasi
dan sistematisasi yang mencerminkan perkembangan (kebutuhan) zamannya. Ideologi
dapat eksis melalui aktualisasi dan kontekstualisasi makna tanpa kehilangan
esensi Islam sebagai ideologi PPP.
Struktur Minus Kultur
Konstruksi pada ranah legislasi maupun
institusi relatif lebih semarak di era reformasi. Bahkan agenda terbesar
pertama di awal reformasi yang menyedot banyak perhatian, selain pemilihan
presiden, adalah amandemen konstitusi yang memakan waktu dan perdebatan relatif
lama. Perdebatan ideologis lebih terlihat pada sisi Islam berhadapan dengan
ideologi yang lain dalam beberapa proses rekonstruksi institusi atau struktur.
Pada titik ini, ideologi sebagai ikon yang “khas” dan pembeda (diferensiasi),
sebagaimana dikonsepsi Roy C. Macridis (1983), Terence Ball dan Richard
Dagger (1991), berlaku dalam konteks
“pertemuan” antara partai agama (Islam) dengan partai sekuler. Hal ini
dimungkinkan karena adanya landasan yang khas, yaitu kaitan nilai-nilai Islam
bahkan dengan legitimasi teologisnya dalam perdebatan dalam rancangan
undang-undang.
Kerja-kerja pada ranah legislasi atau
institusi dengan segala kekhasannya tersebut belum berbanding lurus dengan
konstruksi pada ranah kultural sebagai landasan kerja institusi. Akibatnya
bangunan yang tersedia, termasuk dalam membangun rumah besar umat Islam sebagai
ikon PPP, gagal menjadi magnitud umat. Pada level konstestasi, perjuangan
nilai-nilai Islam sebagai implementasi ideologis pada ranah legislasi gagal
membawa dampak elektoral karena berhenti pada ranah struktur, institusi, dan
catatan suci dalam proses legislasi.
Hal tersebut merupakan gejala umum
sejak reformasi bergulir dengan dalih rekonstruksi institusi akan mengubah segala
bentuk distorsi orde sebelumnya yang represif dan hegemonik. Bangunan dan
beragam institusi yang dibangun di era reformasi dengan segala asesoris dan
keindahannya tak berjalin kelindan dengan sikap dan perilaku tuan rumahnya. Kasus
korupsi, kolusi, konflik, kinerja buruk, dan pilihan koalisi berbasis kursi
adalah rangkaian bukti berjaraknya aksi dengan visi, institusi dengan ideologi.
Bahkan beberapa institusi terpaksa dilikuidasi Presiden Jokowi karena tak lebih
dari pelebaran birokrasi tanpa isi.
Nafas Ideologis
Sisi signifikansi ideologi
menjadi pertaruhan bagi institusionalisasi (pelembagaan) dan stabilisasi partai.
Ideologi menjadi bermakna, termasuk berdampak pada sisi elektoral partai ketika
ia menjadi nafas dari gerak partai secara komprehensif. Hal ini karena partai
politik, sebagaimana konsepsi Scott Mainwaring (2005), merupakan penjabaran
dari ide-ide sistematis yang terkonstruksi dalam ideologi. Orang melihat partai
berbeda (baca; lebih jelas) dibandingkan dengan partai lainnya dan karenanya
orang tertarik menentukan pilihannya. Penjelas sekaligus pembeda ini merupakan
bagian fungsi ideologi. Dengan kata lain, ketika publik gagal membuat pembeda dan
penjelas terhadap partai politik, berarti partai gagal mengaktualisasikan
ideologinya.
Begitu juga “keberhasilan”
partai Islam, seperti PPP, dalam memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam
rancangan undang-undang tidak bermakna ideologis ketika gagal menggerakkan
seluruh sisi sikap dan perilaku partai, termasuk perilaku para kadernya sebagai
aparatus ideologi (ideological party apparatus). Inilah yang disebut
sebagai quasi-ideologi (quasi-ideology) yang menempatkan ideologi
seolah-olah baik karena pengabaian pada substansi ideologi. Atau sebagaimana Paul M. Sniderman (1991) definisikan sebagai ideologi sekadar wacana tanpa
makna, konstruksi tanpa substansi (having a legal status only by operation or construction of law and
without reference to intent). Inilah yang menyebabkan ideologi sebagai nafas partai semakin terasing
dalam percaturan kontestasi.
Fakta
tersebut sekaligus menjadi agenda untuk memastikan institusionalisasi partai
politik berlangsung di atas pijakan ideologinya. Pertama, pentingnya revitalisasi
sistem kepartaian. Mekanisme partai harus dijalankan secara konsisten berdasarkan
nilai-nilai ideologi yang dianutnya. Perdebatan dalam proses pembahasan
undang-undang, sebagaimana dilakukan PPP dengan nilai-nilai Islamnya dalam beberapa
RUU, merupakan bagian dari ideologisasi partai. Namun hal tersebut belum
menjadi bagian dari sistem kepartaian, karena pada ranah lain, nilai-nilai
Islam belum terlihat utuh.
Kedua, penerjemahan ideologi (teks) berdasarkan konteks (ideological
linkage). Slogan-slogan ideologis, seperti Islamisme, marhaenisme,
nasionalisme, dan sebagainya harus dipijakkan pada pemahaman dan kebutuhan
masyarakat. Ideologi sebagai konseptualisasi kaum elit, sering berjarak dengan
massa. Dalam hal nilai-nilai Islam misalnya,
harus diterjemahkan berdasarkan kebutuhan konkret masyarakat, sehingga
partai Islam seperti PPP tidak terasing di tengah umat Islam sebagai
konstituennya. “Rumah besar umat Islam” tak bermakna ketika “rumah sederhana”
saja tidak dimiliki rakyat dan tidak tercermin dalam perilaku elit. Karena itu,
diperlukan langkah ketiga, yaitu penguatan aparatus ideologi. Aparatus
ideologi mencakup semua kader yang tak sekadar memahami, tapi mempraktikkannya.
Untuk itu, kerja partai tak sekadar mencari anggota, pengurus, atau caleg
sebanyak-banyaknya dengan mengedepankan figuritasnya, tapi memaksa
kader-kadernya untuk mentransformasi dan menginstitusionalisasi kesadarannya
pada nilai-nilai ideologi partai. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan
partai pada figuritas, dan beralih pada sisi ideologis partai.
Dengan langkah-langkah
tersebut, memudahkan masyarakat mengidentifikasikan diri dan menentukan
pilihannya. Pasar ideologi antar partai yang “serba remang-remang”
(quasi-ideologi) saat ini hanya menguntungkan partai besar yang didukung oleh
kekuatan modal. Nilai lebih yang sejatinya dimiliki partai politik dengan ideologinya
yang khas, seperti Islam, tergerus oleh tawaran konkret partai besar dan
sekuler. Karena itu, ketika ideologi diyakini sebagai kekuatan dasar partai,
tak ada jalan lain kecuali memastikannya mudah dipahami dan bersinergi dengan
kebutuhan konkret masyarakat, sehingga dihasrati dan diganderungi. Dengan
demikian, peran ideologis partai adalah kemestian.*
No comments:
Post a Comment