Revitalisasi
Relasi Kawasan Damai
“SUARA PEMBARUAN”, Sabtu, 14
Desember 2013
A. Bakir Ihsan
Pelaksanaan
ASEAN-Japan Commemorative Summit, 13-15 Desember di Tokyo memiliki makna penting
bagi Indonesia karena beberapa hal. Pertama, Jepang merupakan pusat
kemajuan dan salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan demokrasinya yang stabil.
Menurut laporan Freedom House 2013, Jepang merupakan negara yang secara demokrasi
elektoralnya termasuk kategori free, khususnya dalam hal hak-hak politik (political
rights) dan kebebasan warganya (civil liberties).
Kedua,
Indonesia merupakan negara favorit teratas bagi investasi perusahaan-perusahaan
Jepang. Menurut survei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JBIC)
yang direlease 2/12 lalu, Indonesia menggeser posisi China yang sudah 20 tahun lebih
menempati urutas teratas sebagai favorit investasi perusahaan-perusahaan
Jepang. Dari 500 perusahaan yang disurvei, 44,9 persen mengatakan Indonesia
merupakan tempat yang baik untuk berbisnis, disusul India dan Thailand pada
peringkat kedua dan ketiga. Sementara popularitas China jatuh ke level
terendah, yaitu 37,5 persen dari 62,1 persen.
Ketiga, pada
2013, Jepang menjadi investor pertama di Indonesia, menggeser Singapura.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per 22 April 2013, Jepang
mulai menggeser Singapura sebagai negara nomor satu yang paling banyak
berinvestasi di Indonesia. Selama kuartal I-2013, total investasi Jepang di
Indonesia mencapai Rp 1,2 miliar atau 16,3% dari total penanaman modal asing
(PMA) sebesar Rp 65,5 triliun.
Relasi Indonesia-Jepang
yang positif dan didukung oleh fakta-fakta yang semakin optimistik tersebut, sejatinya
menjadi jalan subur bagi peningkatan kerjasama yang lebih komprehensif yang
berdampak bagi kehidupan masyarakat bahkan kawasan. Hal ini sangat dimungkinkan
karena kerja sama Indonesia-Jepang sudah berjalan puluh tahun. Semua pemimpin
Indonesia, mulai Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Jepang.
Dalam konteks ini, maka paradigma yang diperlukan bukan hanya pertumbuhan
ekonomi, tapi bagaimana ekonomi bisa tumbuh secara maksimal bersama dengan
kemajuan di bidang lainnya.
Variabel
Perdamaian
Masing-masing
aspek dalam tata kehidupan bernegara maupun antar negara sejatinya berpijak
pada misi agung kehidupan, yaitu perdamaian dan kesejahteraan. Selama ini,
perdamaian dan kesejahteraan dilihat sebagai dampak, bukan sebab. Ia hanya
bagian dari variabel terikat (dependent variable) yang ditentukan oleh faktor
lain (ekonomi-politik) sebagai variabel penentu (independent variable). Perdamaian
dan kesejahteraan sekadar harapan yang nasibnya ditentukan oleh sejauhmana
ekonomi dan politik tumbuh. Ia ditempatkan sebagai tujuan, bukan landasan yang
bergerak simultan.
Paradigma ini
menjadikan semua perangkat kehidupan bernegara dikerahkan untuk kepentingan aspek
yang sangat menentukan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Bahkan
dalam sejarahnya, politik menjadi abdi ekonomi yang difasilitasi oleh negara
melalui pendekatan, yang disebut Guillermo
O'Donell sebagai otoritarianisme birokratik (bureaucratic-authoritarianism). Padahal paradigma ini gagal menjelaskan fenomena pertumbuhan
ekonomi yang berdiri diametral dengan pemerataan dan kesejahteraan. Stabilitas
politik yang berdiri bersimpangan dengan perdamaian. Pertumbuhan ekonomi yang
selalu menyisakan kesenjangan dan stabilitas politik yang mewariskan dendam dan
konflik.
Dalam konteks
itulah, sedari awal, Presiden SBY membangun kesepakatan dengan Jepang untuk
perdamaian dan kesejahteraan. Tepatnya pada November 2006, saat kunjungan
pertamanya ke Jepang, Presiden SBY bersama PM Jepang saat itu, Shinzo Abe,
menandatangani kerja sama kemitraan strategis untuk perdamaian dan
kesejahteraan masa depan (the declaration
of strategic partnership for peaceful and prosperous future).
Penguatan Citra
Salah satu
modal penting dalam menguatkan kerja sama adalah citra positif. Citra yang
lahir dari rangkaian fakta yang mengacu pada apa yang dirasakan, dipersepsikan,
dan dilakukan sehingga melahirkan kepercayaan. Tampaknya hal ini mulai tumbuh
dalam konteks relasi Indonesia-Jepang yang memang sudah terbangun lama.
Dalam kuliah
umum bertajuk; "Building Regional Security Architecture for Common Peace,
Stability, and Prosperity" di Kensei Kinen Kaikan, Tokyo, 13/12/13,
Presiden SBY memaparkan survei Kementerian Luar Negeri Jepang di enam negara
ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam). Menurut
survei tersebut, 90 persen masyarakat Indonesia memiliki citra positif terhadap
Jepang. Bahkan 97 persen menyambut beroperasinya perusahaan Jepang di
Indonesia. Ini tampaknya berkorelasi dengan persepsi positif kalangan pengusaha
Jepang terhadap Indonesia yang menjadikan Indonesia sebagai tempat investasi
pertama dibandingkan negara lainnya.
Fakta tersebut
menunjukkan adanya senyawa dalam bidang ekonomi yang sejatinya bisa
dikembangkan pada aspek lainnya, seperti dalam hal pendidikan, budaya, maupun
pengembangan aspek-aspek lainnya. Hal ini penting, karena laju kerja sama dan
pertumbuhan tidak bisa hanya difokuskan pada satu atau dua aspek, tapi memerlukan
ruang yang lebih luas yang memungkinkan pelibatan seluruh stakeholder dalam
beragam bidang secara komprehensif.
Pelibatan di
sini merepresentasikan kesetaraan. Pelibatan tanpa kesetaraan adalah bentuk
lain dari dominasi dan hegemoni. Melalui pelibatan kolektif tersebut,
masing-masing pihak bisa mengkalkulasi kepentingan-kepentingannya sembari
mentransendensikan (bukan menegasikan) aspek-aspek yang berpotensi konflik dan
merayakan aspek-aspek positif bagi perdamaian.
Dalam perspektif
Johan Galtung (Theories of Peace, 1967), konflik yang melibatkan
pemikiran, sikap, dan perilaku harus difasilitasi (facilitating) bukan dihalangi
(impeding), dikasih solusi (resolving) bukan dihindari (avoiding).
Menfasilitasi sikap yang positif dan mengembangkan perilaku yang konstruktif
serta memberi jalan keluar bagi konflik menunjukkan pentingnya pendekatan
asosiasi (associative approaches). Sebuah pendekatan yang mencoba untuk tetap meningkatkan interaksi
dan kontak antara antagonis (pelaku konflik) serta tetap dekat satu sama lain. Pendekatan ini semakin memastikan
urgensi kesetaraan (equal partners) dalam membangun kerja sama atau
relasi pada semua level, baik dalam konteks negara maupun antar negara.
Inilah
tantangan yang harus dijawab di tengah perubahan di berbagai bidang. Perubahan
yang tidak jarang melahirkan letupan-letupan konflik bahkan krisis di satu sisi
dan tuntutan untuk tetap dalam kesetimbangan (equalibrium). Semua harus dimulai
secara bersama-sama oleh beragam relasi baik dalam bentuk asosiasi semacam
ASEAN, maupun pada level antar negara seperti Indonesia dan Jepang, untuk memastikan
beroperasinya perdamaian dan kemajuan di kawasan.*
No comments:
Post a Comment