Opini
ASEAN DAN POLITIK IDENTITAS
SUARA PEMBARUAN, Rabu, 24 April 2013
ASEAN DAN POLITIK IDENTITAS
SUARA PEMBARUAN, Rabu, 24 April 2013
A. Bakir Ihsan
Ada semangat
yang tampaknya terus disinergikan dalam rangkaian KTT ASEAN. Saat KTT ASEAN
ke-21 di Phnom Penh, Kamboja tahun lalu, (15-20/11/12) tema besarnya; One Community,
One Destiny. Kini, tema KTT ASEAN ke-22 (24-26/4/13) di bawah kepemimpinan
Brunei Darussalam adalah “Our People, Our Future Together”. Kebersamaan
dalam sebuah komunitas ASEAN menjadi ujung yang hendak dicapai oleh 10 negara
anggotanya. Namun sejauhmana kemungkinan itu akan terjadi, khususnya di 2015
sebagai target capaian?
Pertanyaan ini
penting diajukan untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan ASEAN
ke depan baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun budaya. Membentuk satu
komunitas dalam keragaman bukan pekerjaan mudah, tapi juga bukan tak mungkin
terjadi. Tantangan yang lebih berat sejatinya melahirkan banyak peluang untuk semakin
optimis mencapainya.
Dalam
perjalanan penulis ke beberapa negara ASEAN, terlihat adanya perbedaan (inequality)
baik dalam konteks ekonomi maupun politik yang dalam hal tertentu bisa berefek
pada proses menuju satu komunitas atau kebersamaan. Kebersamaan secara
formalistik-simbolik bisa saja disepakati di antara petinggi negara, namun yang
tak kalah pentingnya adalah kebersamaan substantif yang merekatkan warga ASEAN.
Ini penting ditekankan karena secara historis, negara-negara ASEAN punya
“nasib” yang sama sebagai negara berkembang dan secara kultural tumbuh dari
beberapa suku bangsa. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa yang tumbuh
dan besar dari satu suku bangsa. Negara-negara di ASEAN tumbuh dari beragam
suku bangsa yang pada titik tertentu melahirkan politik identintas. Salah
satunya adalah identitas etnis bercampur agama, seperti di Myanmar, Thailand,
dan Filipina.
Identitas Agama
ASEAN merupakan
wilayah dengan identitas keagamaannya yang beragam dan cenderung kuat. Kalau
dilihat secara geopolitik, ada tiga agama yang dominan di ASEAN, yaitu Islam,
Buddha, dan Kristen dengan konsentrasi di negara yang berbeda-beda. Islam
dominan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, Buddha dominan di
Thailand, Kamboja, Vietman, dan Myanmar, sementara Kristen di Filipina dan
Singapura. Masing-masing agama berpotensi memperkuat politik identitas warga,
tapi juga rentan dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Hal ini
terlihat dari persoalan identitas agama yang muncul di beberapa negara ASEAN.
Kecenderungan
menguatnya preferensi politik berdasarkan agama merupakan hal yang tak
terelakkan dalam politik. Sebagaimana didedah David R Segal (1974), bahkan
dalam masyarakat yang sangat modern sekalipun, seperti Amerika, orientasi agama
tak bisa dilepaskan dari preferensi politik warganya. Namun di negara yang
tingkat demokrasinya belum terkonsolidasi, persoalan politik identitas (identity
politics) menjadi problem tersendiri.
Kebebasan yang
bersemi di satu sisi memungkinkan kelompok minoritas yang sebelumnya tak bisa
bersuara mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain, atas nama kebebasan pula,
mayoritas memainkan logika dominasinya. Dalam kondisi tersebut negara harus
menjadi jalan tengah yang bisa mendamaikan.
Langkah tersebut
tidak mudah dilakukan, karena kehadiran negara bukan taken for granted. Gerak
pemerintahannya didasarkan pada suara mayoritas. Karena itu, negara akan selalu
berhitung pada arah angin besar dalam kehidupan masyarakat. Inilah salah satu
kritik Robert A. Dahl tentang demokrasi yang menawarkan kebebasan di tengah
ketaksetaraan yang berdampak pada dominasi mayoritas. Karena itu, beberapa
negara demokrasi memberikan hak veto bagi minoritas untuk ikut menentukan
kebijakan agar tak diskriminatif. Namun langkah ini juga menyisakan masalah,
karena kebebasan kemudian melahirkan diskriminasi atas nama minoritas. Di
sinilah pentingnya nilai-nilai yang bisa mendorong masing-masing kelompok untuk
saling menghargai. Agama sejatinya memiliki peran profetis untuk menumbuhkan
nilai tersebut karena kehadirannya memang untuk mengikis represi dan
diskriminasi.
Nilai-nilai
agung keagamaan yang dianut oleh warga ASEAN ini bisa bersinergi dalam kesamaan
nilai. Apalagi dalam beberapa telaah historis ditemukan adanya corak
keberagamaan yang relatif inklusif dibandingkan di kawasan lainnya. Kedatangan
Islam, misalnya hadir dalam konteks akulturasi budaya, bukan aneksasi apalagi
invasi, sehingga corak Islam di ASEAN berbeda dengan di Timur Tengah. Begitu
juga agama lainnya yang relatif lebih inklusif, bahkan pada titik tertentu
sinkritis, berhadapan dengan realitas budaya. Melalui proses akulturasi dan
dialog yang intens dengan budaya-budaya lokal di ASEAN bisa menjadi ruh yang melampaui,
tanpa harus merusak, perbedaan budaya.
Agenda ini
sejatinya menjadi bagian yang intens dikonstruksi dalam rangka membangun
komunitas ASEAN. Fokus pada pengembangan kerjasama dan penyatuan ekonomi dan
politik yang sudah berlangsung selama ini sangatlah penting. Namun, pertumbuhan
nilai-nilai inklusif yang berpijak pada ajaran agama dan budaya lokal tak kalah
pentingnya untuk memastikan kelanggengan satu komunitas ASEAN. Pendekatan
ekonomi politik semata akan terjebak pada pertimbangan untung rugi relasi antar
negara, tanpa fondasi nilai substantif yang merawat kaitan antar warga.
Kaukus Agamawan
Langkah
menempatkan nilai-nilai universal agama sebagai ruh bagi terciptanya satu
komunitas ASEAN tidaklah mudah di tengah kecenderungan pengabaian nilai-nilai
agama dalam praktik kenegaraan yang korup dan diskriminatif di satu sisi dan
radikalisasi agama di sisi yang lain. Namun upaya tersebut sejatinya bisa
dimulai dengan membentuk kaukus kaum agamawan pada level ASEAN. Kaukus ini diperlukan
untuk, pertama, menyamakan persepsi urgensi peran agama di sebuah
kawasan. Ini bukan berarti mengkotak-kotak agama secara geopolitik, namun lebih
melihat keragaman budaya yang secara faktual ikut mempengaruhi terhadap
pemahaman agama masyarakat.
Kedua, memahami adanya aspek-aspek spesifik yang
memerlukan perhatian khusus dari kalangan agamawan. Langkah ini perlu untuk mempribumisasikan agama yang selama
ini didakwahkan secara universal. Melalui kaukus ini, universalitas agama dikontekstualisasikan
dalam kehidupan faktual masyarakat yang majemuk. Lebih jauh, akan terjadi
infiltrasi terhadap pemahaman keagamaan yang eksklusif yang mengancam terhadap
perbedaan.
Ketiga,
menyadari adanya realitas yang beragam yang masing-masing punya hak untuk hidup
di sebuah kawasan. Dari sini diharapkan selalu ada upaya jalan keluar bagi
problem kehidupan beragama yang cenderung berjalan menurut logika mayoritas dan
di tengah negara belum mampu berbuat maksimal untuk menjembataninya.
Kaukus agamawan
tidak berpretensi untuk menyeragamkan pemahaman agama, karena masing-masing
agama punya ajaran. Ia lebih pada penyelesaian konflik melalui kerja-kerja kultural
dengan dukungan kuat (political will) dari pemerintah (struktural) di
masing-masing negara. Karena itu, diperlukan komitmen dan sinergitas kultural
dan struktural melalui pemahaman agama yang inklusif dalam ranah sosial dan adanya etika dan
kemauan politik secara struktural. Di
sinilah momentum yang sejatinya menjadi bagian dari agenda KTT ASEAN
menyongsong 2015, sehingga one community, one destiny dan our people,
our future together tak sekadar semboyan. Semoga.
No comments:
Post a Comment