Opini
SBY DAN MISI KETERLIBATAN KONSTRUKTIF
JURNAL NASIONAL, Senin, 29 April
2013
A. Bakir Ihsan
Selama ini
kunjungan Presiden SBY dilihat pada aspek formalistiknya. Misalnya kunjungan ke
Singapura (22-23/4) yang lalu dilihat sekadar menerima pemberian gelar doktor
honoris causa dari Nanyang Technological University (NTU). Begitu juga ke
Myanmar (23-24/4) hanya dilihat sebagai kunjungan balasan Presiden SBY atas
kunjungan Presiden U Thein Sein ke Jakarta beberapa waktu sebelumnya. Tidak
salah orang memandangnya demikian, karena secara protokoler memang itulah
agenda Presiden. Namun pembacaan seperti itu akan memunculkan kesan kegiatan
Presiden seperti rutinitas yang berulang-ulang dan pada titik tertentu mungkin
tidak menarik diamati.
Tulisan ini
hendak melihat sisi lain dari kunjungan tersebut untuk menemukan makna
substantif di dalamnya. Pemberian gelar honoris causa, misalnya, tentu bukanlah tujuan utama yang
mendorong Presiden SBY mengunjungi Singapore, karena sudah banyak gelar doktor
yang diterimanya. Namun pemberian gelar tersebut menjadi bermakna karena dua
hal. Pertama, Indonesia dihargai bukan hanya oleh dunia internasional,
tapi juga oleh dunia akademika yang menjunjung tinggi obyektivitas dan
independensinya. Apalagi NTU merupakan salah satu perguruan tinggi yang
memiliki reputasi dan peringkat cukup baik di tingkat Asia maupun dunia. Ia menduduki
peringkat 47 dalam rangking global versi QS World University dan masuk dalam
100 top perguruan tinggi versi Times Higher Education World University 2012.
Kedua, pemberian gelar tersebut menjadi momentum bagi
Presiden SBY untuk “memasarkan” potensi-potensi yang dimiliki Indonesia,
termasuk nilai-nilai luhur bangsa. Salah satu poin penting yang disampaikan
Presiden SBY pada kesempatan itu adalah keberhasilan Indonesia membangun relasi
positif antara Islam dengan demokrasi dan modernisasi (Islam and modernity
can go well together). Islam Indonesia berhasil menjadi fondasi bagi
mekarnya demokrasi tanpa anarki seperti yang terjadi di kawasan lain.
Bukan kali ini
saja, Presiden SBY “memasarkan” sisi positif relasi Islam dan demokrasi. Namun
penyampaian kali ini mendapatkan momentumnya di tengah stigmatisasi terhadap
Islam yang dianggap anti demokrasi dan modernisasi masih berlanjut. Sebagian
ahli, termasuk Samuel P Huntington menempatkan Islam sebagai ajaran yang tidak
memiliki korelasi positif dengan demokrasi. Selain fakta adanya beberapa negara
Islam yang masih otoritaritarian, juga tindakan sebagian kaum (kelompok) muslim
yang memperlihatkan Islam yang keras dan intoleran menjadi rangkaian
justifikasi atas distingsi Islam dan demokrasi.
Dalam kondisi
tersebut, menyuarakan Islam yang toleran dan demokratis dengan fakta-fakta dan
pengalaman empirik seperti Indonesia menjadi sangat penting. Itulah yang dilakukan SBY dalam memasarkan Islam
Indonesia sebagai landasan dasar yang bisa menggerakkan kehidupan bangsa yang
lebih kondusif dan demokratis. Lebih dari itu, mengaitkan nilai positif agama dengan
demokrasi jarang dikupas oleh pejabat setingkat kepala negara, terlebih di
tingkat ASEAN yang memiliki keragaman agama. Bukan tanpa alasan SBY menyebarkan
sisi relasi positif (ajaran agama) Islam dan demokrasi. Selain karena Indonesia
berhasil membuktikannya, juga ada misi untuk mengkonstruksi demokrasi di
wilayah ASEAN dengan menempatkan ajaran agung agama-agama yang ada di ASEAN dalam
konteks penguatan demokrasi. Sebagaimana dimaklumi, di ASEAN terdapat beberapa agama
selain 3 agama yang dominan, yaitu Islam, Buddha, dan Kristen yang sejatinya
bisa menjadi sumber kesadaran yang produktif (profetis) bagi modernisasi dan
demokrasi.
Keterlibatan Konstruktif
Aspek lain yang
menarik kita sorot adalah upaya SBY untuk menghentikan setiap kekerasan baik
secara horisontal maupun vertikal, khususnya dalam konteks kawasan. Beberapa
negara ASEAN menghadapi tantangan konflik di beberapa wilayahnya, terutama
terkait etnis minoritas, seperti yang terjadi di Myanmar. Dunia tengah menyorot
Myanmar karena dianggap belum berhasil mengatasi kekerasan terhadap etnis
Rohingya di tengah demokrasi yang dibangunnya. Dalam konteks itulah, dialog dan
tawaran konstruktif bagi penyelesaian konflik menjadi relatif efektif dalam
relasi kekuasaan.
Bagi Presiden
SBY apapun bentuk sistem pemerintahan sebuah negara, jalinan harus tetap
dibangun dalam bentuk constructive engagement atau keterlibatan
konstruktif. Tak ada masalah tanpa jalan keluar, salah satunya melalui soft
power yang memberi ruang dialog dan transaksi solusi konstruktif. Langkah ini
dilakukan SBY jauh sebelum Myanmar menjadi negara demokratis dua tahun terakhir
ini. Saat dunia mengucilkan Myanmar di bawah sistem junta militer, SBY
membangun hubungan baik, sehingga bisa membangun dialog konstruktif bagi
terciptanya tatanan negara yang lebih terbuka.
Pun dalam kasus
kekerasan terhadap etnis Rohingnya yang terjadi belakangan ini, SBY menawarkan
beberapa solusi langsung kepada Presiden Myanmar, Thein Sein. Salah satunya adalah
membangun sentra-sentra ekonomi bagi masyarakat dan membuka lapangan pekerjaan
secara lebih merata, sehingga masyarakat tidak mudah terprovokasi dan
teragitasi. Dalam konteks itu, Indonesia menawarkan kerja sama untuk ikut
mendorong pertumbuhan ekonomi Myanmar. Pada titik ini ada sinergi antara usaha pertumbuhan
ekonomi dengan upaya meminimalisasi konflik. Ekonomi menjadi salah satu pilar
yang dapat mengurangi konflik (nirkonflik) apabila didukung oleh kebijakan yang
berkeadilan. Dan hal inilah yang hendak dikembangkan Presiden SBY dalam
beberapa kerjasamanya dengan negara lain yang pernah dirundung konflik, seperti
Myanmar atau Kamboja.
Memaksimalkan Peluang
Keberhasilan
Indonesia baik pada level internal melalui pertumbuhan ekonomi dan demokrasinya
maupun secara eksternal melalui peran peacekeeping mission yang dijalankan
dan diakui dunia, sejatinya menjadi modal yang memudahkan Indonesia untuk
memaksimalkan kerjasamanya dengan negara lain. Namun pada kenyataannya, sebagaimana
otokritik SBY, para perangkat pendukungnya belum lincah dalam menggunakan
peluang-peluang secara maksimal, khususnya dalam bidang ekonomi.
Ketika
Indonesia berhasil mengemban misi perdamaian di sebuah negara, sejatinya
Indonesia mendapatkan ladang kerja sama ekonomi yang lebih produktif dibandingkan
negara lain yang tidak terlibat dalam peacekeeping mission di negara
tersebut. Misalnya pasukan atau Kontingen Garuda XII yang sangat intens
mendorong perdamaian dan transisi pemerintahan di Kamboja pada 1992-1993 tidak
berbanding lurus dengan intensitasnya dalam kerja sama di bidang ekonomi. Begitu
juga keterlibatan Indonesia dalam perdamaian di negara-negara bekas Yugoslavia
seperti di Bosnia-Herzegovina melalui Kontingen Garuda XIV pada 1993-1995 tidak
diimbangi oleh kerja sama di bidang lainnya yang bisa semakin mempererat
hubungan kenegaraan dalam berbagai bidang lainnya.
Fakta sejarah
tersebut menunjukkan betapa pentingnya sinergitas dan kerja kolektif antara bidang
dalam struktur kenegaraan maupun dalam konteks relasi antar negara untuk
memaksimalkan peluang yang ada. Misi diplomasi dan kunjungan kerja maupun kenegaraan
Presiden harus diimbangi oleh kesiapan para aparat terkait untuk
menindaklanjutinya dalam bentuk kerja-kerja yang produktif bagi kepentingan
bangsa. Dengan demikian, setiap kerja Presiden ke luar negeri tidak terkesan prosedural-formalistik
kenegaraan semata, namun memiliki feedback yang konstruktif bagi bangsa
dan negara Indonesia.*
No comments:
Post a Comment