GERAK REFORMASI, ENERGI TANPA SINERGI:
Sebuah Catatan Tambahan
Maka dalam demokrasi
seorang pemimpin hanyalah
“orang pertama dari yang
sama” (primus inter pares).
(Nurcholish Madjid, 2001)
A. Bakir Ihsan
Reformasi belum mati,
tapi jalannya belum presisi. Arah yang dituju hanya dalam memori dan teori, sementara
pijakan sikap dan perilaku jauh panggang dari api. Inilah anomali dalam
transisi yang lahir dari rahim reformasi. Deviasi dan distorsi agenda dan
implementasi reformasi menyisakan wujud yang belum pasti. Potret ini terekam
sangat baik dalam pidato Nurcholish Madjid (Cak Nur) lebih sepuluh tahun lalu.[1]
Bangunan reformasi meriah secara formalistik, miskin secara substantif, ramai
secara normatif, kering secara esensialistik. Masyarakat dan negara seakan-akan
tak pernah punya cita-cita reformasi karena problem struktural dan kultural
lebih eksesif daripada kehendak menegakkan reformasi. Langkah-langkah besar
yang dirancang di awal reformasi menjadi bangunan tanpa isi. Ini semua terjadi
karena reformasi dirancang tak lebih dari prosesi suksesi yang sekian lama
terbungkam oleh rezim otoriter. Kegaduhan politik berlangsung hampir setiap
saat dan memuncak menjelang kontestasi, namun nyaris tak terdengar setelahnya,
khususnya bagi pembumian suara rakyat sebagai suara Tuhan. Kenyataan ini tidak
terlepas dari cara pandang terhadap simpul-simpul reformasi. Reformasi dimonumenkan pada berakhirnya
kekuasaan sang penguasa, bukan pada transformasi kelembagaan sebagai penyangga
kekuasaan tersebut.
Kejatuhan Soeharto dirayakan
sebagai monumen reformasi yang akan mengubah tatakehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Personifikasi kekuasaan pada sosok Soeharto mengabaikan deviasi
yang melembaga pada bangunan kekuasaan dan sosial. Akibatnya reformasi
seakan-akan berhenti seiring berhentinya Soeharto. Pola pandang ini masih cukup
dominan di tengah masyarakat, bahkan di sebagian cerdik cendekia, dengan menempatkan pemimpin sebagai individu
yang bisa bertindak semauanya dan menyelesaikan segalanya.[2]
Padahal kalau berkaca pada sosok Soeharto yang otoriter sekalipun, gagal
mempertahankan kekuasaannya di tengah keroposnya tiang-tiang kekuasaan. Keberadaan
sosok Soeharto sebagai terdakwa tunggal atas segala sengkarut dan kebobrokan negara
belum cukup untuk dijadikan legitimasi bagi terwujudnya pelaksanaan demokrasi
yang lebih baik seiring berakhirnya kekuasaan Soeharto. Soeharto hanya
simbolisasi dari otoritarianisme yang ditopang oleh, dan ini tak kalah
pentingnya, birokrasi dan partai yang koruptif dalam segala bentuknya. Soeharto
dengan masa kekuasaannya yang begitu panjang telah melembaga dengan segala
bentuk penyimpangannya yang sistematis. Pada titik ini Orde Baru menjadi orde
yang bukan sekadar dikendalikan oleh penguasa otoriter, namun telah menjadi apa
yang disebut Guillermo O'Donell sebagai otoritarianisme
birokratik (bureaucratic-authoritarianism).[3]
[1] Nurcholish
Madjid, Pidato disampaikan
dalam “Dialog” yang diselenggarakan
oleh Koordinatoriat Wartawan DPR/MPR RI dan Forum Komunikasi Massa, di Ruang
Pustakaloka, Gedung DPR RI, Jakarta, 17 Januari 2001. Semua
kutipan tentang Cak Nur dalam tulisan ini didasarkan pada pidato ini.
[2] Salah satu pandangan yang melihat
Soeharto sebagai pusat sengkarut kenegaraan adalah R. William Liddle. “Otak di
balik perangkat politik yang rumit ini, pikiran tunggal yang membangun dan
memeliharanya, dan menjaganya supaya tetap stabil dan menguasai seluruh
masyarakat selama lebih dari tiga puluh tahun, ialah Soeharto.” Baca; R.
William Liddle, Rezim: Orde Baru, dalam Donald K. Emmerson (Ed.),
Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 200, hal. 78-79.
[3] Salah satu karakteristik otoritarianisme birokratik adalah; “it is,
primarily and fundamentally, the aspect of global society that guarantees and
organizes the domination exercised through a class structure subordinated to
the upper fractions of a highly oligopolized and transnationalized bourgeoisie.”
Sebagai sebuah sistem politik, ia bercirikan; it is a system of political
exclusion of a previously activated popular sector, which is subjected to
strict controls designed to eliminate its earlier presence in the political
arena. This is achieved by coercion, as well as by the destruction or strict
governmental control of the resources (especially those embodied in class
organizations and political parties or movements) that sustained this
activation. Such exclusion is guided by the determination to impose “order” on
society and to ensure its future viability.” Guillermo O'Donell,
Bureaucratic Authoritarianism, California; University of California
Press, 1988, hal. 31-32
No comments:
Post a Comment