Opini
Reshuffle Berbasis Kompetensi
Investor Daily,
Jum’at, 23 September 2011
A. Bakir Ihsan
Di hadapan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan reshuffle Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) II pada Oktober mendatang. Pernyataan Presiden tersebut menjawab
pertanyaan Apindo yang meminta kejelasan atas gonjang-ganjing isu reshuffle
yang berhembus di media massa. Apindo menganggap wacana reshuffle menyebabkan
ketidakpastian di sektor ekonomi. (Investor Daily, 21/9).
Di ranah lain, wacana reshuffle mengundang kalkulasi-kalkulasi
prediktif terkait sosok yang akan diganti. Para analis dan politisi berbagi dan
bersilang analisa, walaupun Presiden yang punya kuasa. Sementara rakyat terus
bergulat dengan nafas kehidupannya tanpa peduli ada reshuffle atau tidak. Kita
sadar bahwa reshuffle bukan segalanya, apalagi KIB II berbasis partai politik. Wajar
bila orang bilang; reshuffle lebih menyangkut hidup mati kepentingan partai
politik.
Isu reshuffle tak berhembus kali ini saja.
Beberapa bulan lalu, reshuffle juga membahana di media massa, tapi tak kunjung
nyata. Pemicu reshuffle tak lepas dari hasil evaluasi Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) atas kinerja kabinet yang menunjukkan rapor merah
beberapa kementerian saat itu.
Reshuffle kali ini seakan mendapat momentumnya
seiring kinerja pemerintahan yang belum juga memuaskan. Hasil beberapa survei
menunjukkan turunnya kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Lingkaran Survei
Indonesia, 18 September lalu, misalnya, merilis hasil surveinya tentang
kepuasan publik atas tahun kedua masa pemerintahan SBY-Boediono. Menurut hasil
survei, kepuasan publik atas pemerintah tinggal 37,7 persen. Angka terendah
dibandingkan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono yang masih berkisar 52,3
persen, atau pada satu tahun pemerintahannya yang berkisar pada 46,5 persen.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY-Boediono
tentu tidak hadir begitu saja. Ia merupakan akumulasi dari rasa dan respon
masyarakat terhadap kinerja kabinet yang didominasi oleh kader partai politik. Ketidakpuasan
terhadap kinerja para menteri berakibat pada kekecewaan yang memuncah terhadap
Presiden SBY yang selama ini menjadi sasaran ajang kritik.
Dilema Partai Dilema Menteri
Bangunan KIB II yang didominasi kader partai
layaknya mata pedang. Ia bisa memuluskan kerja pemerintah, tapi bisa juga
menjadi duri yang menghambat laju realisasi program pemerintah. Adanya beberapa
kasus yang mengait dengan menteri dari partai politik menjadi beban tersendiri
bagi Presiden SBY. Belum lagi problem internal yang dihadapi partai politik yang
pada titik tertentu berdampak terhadap kinerja KIB II.
Dampak domino dari citra partai politik terhadap
pemerintahan SBY-Boediono merupakan konsekuensi logis dari keterlibatan partai
di dalam kabinet. Partai politik sebagai sumber legitimasi para kader partai di
kabinet berdampak pada citra Presiden SBY sebagai pemegang hak prerogatif atas
keberadaan menteri. Problem dan citra negatif yang mendera partai politik
akibat ulah menyimpang kadernya di lembaga publik, seperti korupsi dan tindak
asusila lainnya, secara tidak langsung juga menjadi “beban” dalam pelaksanaan
tugas di kementerian. Belum lagi tingkat identifikasi atau kedekatan pemilih
dengan partai politik (partyID) yang tergolong rendah. Seperti dirilis
Lembaga Survei Indonesia (LSI), kedekatan pemilih dengan partai politik hanya
berkisar 20 persen. Selebihnya merasa tidak punya kedekatan dengan partai
politik. Fakta ini merupakan problem tersendiri, ketika kabinet dibangun
berdasarkan koalisi partai politik. Hal ini yang akan dirasakan dalam tarik
menarik reshuffle KIB II.
Walaupun secara yuridis, presiden memiliki hak
prerogatif untuk membongkar pasang kabinetnya, namun pertimbangan partai
politik akan tetap menjadi poin penting. Karena itu, reshuffle terhadap kader
partai politik di kabinet tidak akan lepas dari “untung rugi” partai yang
mengusungnya dan jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Ini merupakan
konsekuensi logis dari kabinet berbasis partai politik dengan ongkos yang
ditanggungnya.
Reshuffle untuk apa?
Di sisi lain, problem sosial yang menghampar di
negeri ini memerlukan kerja keras untuk mengatasinya. Selain penyakit akut
korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, juga ada eskalasi kekerasan pada ranah
sosial yang siap meledak sewaktu-waktu. Klaim kebenaran atas nama kelompok yang
bermuara pada tindakan sepihak atau konflik antar kelompok, akan terus menjadi
ancaman yang secara langsung mendegradasi kinerja pemerintah.
Eskalasi kekerasan ini terjadi karena pengabaian
atas urgensi kesadaran berbangsa. Ironisnya para elite politik tak banyak
menyentuh persoalan ini karena disibukkan oleh kepentingan pribadi (vested
interest) maupun kelompoknya. Bahkan sebagian elite menunjukkan tingkah
laku politik yang kontradiktif bagi upaya penguatan berbangsa. Berbangsa bukan
sekadar menumbuhkan rasa bersama sebagai warga, tapi sikap dan perilaku yang menunjang
bagi terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera, yaitu hidup tanpa korupsi
dan diskriminasi.
Konsentrasi elite bagi kepentingan kelompoknya,
baik dalam konteks partai politik maupun kepentingan sektarian lainnya, ikut
memperparah problem sosial yang terjadi. Dalam konteks ini, reshuffle bukan
lagi berkutat pada siapa diganti siapa, tapi untuk apa? Reshuffle bukan hanya
mengganti atau menggeser sosok, tapi terkait landasan dibalik pergantian, misi
yang hendak dijalankan, dan tujuan yang harus dicapai.
Pertaruhan Sejarah
Pilihan Presiden SBY membangun KIB II berbasis
partai politik sudah menjadi fakta. Merombak basis tersebut akan memunculkan
kegaduhan politik baru yang justru bisa berdampak pada instabilitas
kepemimpinan Presiden SBY dalam mengakhiri masa pengabdiannya. Karena itu, dari
perjalanan KIB II selama dua tahun ini, Presiden SBY sejatinya memahami betul karakter
masing-masing partai politik melalui kader-kader di kabinet yang dipimpinnya.
Kalau berpijak pada problem akut yang berlangsung
saat ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan rendahnya toleransi di dalam
kehidupan masyarakat, maka reshuffle sejatinya bisa menjawab hal tersebut
dengan mengedepankan sosok-sosok yang memiliki kapabilitas, integritas, dan
kompetensi yang diterima masyarakat dan didukung oleh partai politik. Sosok
yang tampil tak harus berasal dari partai politik, tapi mendapat apresiasi dari
partai politik karena dinilai punya sinergi dan kompetensi. Paling tidak,
eksistensinya tak diganggu gugat oleh partai politik, sehingga bisa bekerja
maksimal untuk kementerian yang dipimpinnya.
Kalau berhitung masa kerja SBY yang tersisa 3
tahun lagi, di akhir masa pengabdiannya sebagai presiden, maka memuaskan publik
lebih mendesak untuk dijawab daripada memenuhi kepentingan jangka pendek partai
politik yang sangat mencair. Walaupun reshuffle kabinet bukan segalanya di
dalam kehidupan bernegara, paling tidak ia bisa menghadirkan optimisme baru di
tengah menurunnya harapan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian,
reshuffle kabinet bisa mengurangi kesan elitisme kekuasaan akibat transaksi
politik partai yang lebih mementingkan logistik daripada aspirasi rakyat.
Inilah pertaruhan reshuffle KIB II yang akan mengantarkan purna tugas SBY dalam
catatan hitam putih sejarah.
No comments:
Post a Comment