Opini
Berindonesia Karena Beragama
KORAN TEMPO,
Jum’at, 9 September 2011A. Bakir Ihsan
Suasana keberagamaan dan
kebangsaan kita dikesankan begitu mengait karena, salah satunya, adanya
kebersinggungan secara simbolik antara peristiwa kemerdekaan dengan bulan suci
umat Islam. Persis sebagaimana peristiwa yang sama 66 tahun lalu. Begitu juga
sumbangsih umat Islam dalam melahirkan Indonesia sebagai negara bangsa, bukan
negara agama. Tampaknya kaitan simbolik tersebut kehilangan substansinya karena
sampai saat ini Indonesia (negara) dan Islam (agama) masih menyisakan beberapa
agenda.
Pertama, agenda kebangsaan
tampaknya belum sepenuhnya terpatri dalam hati anak bangsa. Berbangsa masih
dipahami sebagai kemestian sejarah, tanpa mengerti mengapa harus berbangsa. Kesadaran
berbangsa ini penting diaktualisasikan karena berdampak pada perangai kehidupan
berpolitik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Problem yang menjejal negara saat ini,
karena kebangsaan terdistorsi oleh kepentingan kelompok, golongan, dan entitas
primordial lainnya.
Kedua, agama sebagai ruh warga
negara dalam beberapa hal mengalami penguatan simbolik. Hasrat untuk
simbolisasi agama pada ranah publik (negara) oleh sebagian orang dianggap
sebagai sebuah keniscayaan atas nama demokrasi. Konsekuensinya, energi anak
bangsa terkuras oleh problem simbolik yang sejatinya sudah terselesaikan dengan
ideologisasi Pancasila.
Ketiga, Islam sebagai agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk belum sepenuhnya diejawantahkan sebagai sebuah kesenyawaan
dalam berbangsa. Agama (Islam) masih ditempatkan sebagai ritual yang berdimensi
ketuhanan terpisah dari akar kebangsaan. Konsekuensinya, berbangsa tak
berkorelasi dengan keberagamaan atau sebaliknya.
Karena itu, perlu peretasan
dikotomi kebangsaan (berindonesia) versus keberagamaan (berislam). Secara
historis, agama dan negara memang lahir dari rahim yang berbeda. Agama
berdimensi supranatural, sementara negara (bangsa) natural. Namun dalam
praktiknya, keduanya tak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara untuk
menguatkan eksistensinya dan negara membutuhkan agama sebagai pandu nilai. Pun
yang terjadi di negeri ini. Pergulatan panjang relasi antara agama dan negara
yang berlangsung pada awal kemerdekaan, seharusnya memperkuat ruang konvergensi
bagi rancang bangun kebangsaan yang semakin sublim.
Yang muncul saat ini
justru penguatan dikotomik antara agama dan negara difasilitasi oleh beragam
kepentingan pragmatis. Sejak reformasi bergulir, masing-masing orang atas nama
kelompok mendedahkan dirinya dalam distingsi keagamaan. Kekerasan antar umat
beragama seakan tak terbendung karena masing-masing menafsirkan eksistensinya
berdasarkan agama. Di sinilah pentingnya tafsir kebangsaan dalam setiap problem
yang dihadapi anak bangsa.
Tafsir kebangsaan tidak
bisa dibiarkan mengalir di antara ragam kepentingan. Sebagai sebuah wacana, tafsir
agama tetap niscaya di ranah publik, tapi hal tersebut harus didasarkan pada
semangat kewargaan (spirit of citizenship). Semangat yang, dalam
perspektif Dennis W. Organ (2006), didasarkan pada ketaatan, loyalitas, dan
partisipasi. Ketiga hal ini semakin langka justru di tengah reformasi dan
demokrasi bergulir.
Karena itu diperlukan
penguatan perspektif terkait wacana dan sikap keberagamaan dalam konteks
keindonesiaan. Pertama, wacana dan sikap keberagamaan harus didasarkan
pada upaya peneguhan ketaatan warga pada tatatertib bernegara. Bukan
sebaliknya, memicu ketegangan dan kekerasan antara atau intern umat beragama
yang mengancam stabilitas.
Kedua, dalam konteks loyalitas, wacana
keagamaan harus dimunculkan sebagai wujud hasrat untuk mengorbankan kepentingan
pribadi atau kelompok bagi kepentingan publik atau kelangsungan negara. Bukan
sebaliknya, wacana keagamaan dimunculkan untuk mensubordinasi kehendak publik
atau negara.
Ketiga, wacana dan sikap keberagamaan
harus dibangun sebagai bentuk “pengorbanan” umat bagi negara. Diperlukan
kemauan umat untuk aktif (partisipatif) dalam kehidupan bernegara sebagai
ekspresi dari keberagamaannya.
Aktualisasi spirit
kewargaan ini sangat memungkinkan sekaligus urgen karena realitas dinamika
kehidupan warga negara yang diliputi oleh situasi paradoks. Yaitu antara surplus
kebebasan sebagai imbas demokrasi di satu sisi, dan kecenderungan eksklusivitas
dan ketidaktaatan di sisi lain.
Atas nama kebebasan
sebagian orang, bahkan lembaga publik merasa paling berwenang dan mengabaikan
wewenang lembaga lainnya. Atas nama otonomi daerah, misalnya, daerah
mengabaikan pusat, gubernur mengabaikan presiden, dan rakyat pun mengabaikan
pemerintah daerah. Masyarakat dan negara bergerak secara diametral.
Dalam kondisi demikian,
agama sebagai sumber nilai sejatinya menjadi pijakan yang secara konsisten (istiqamah)
menopang eksistensi warga dalam bernegara. Bukan malah sebaliknya, memprovokasi
warga untuk mengintervensi atau bahkan menolak negara. Karena itu, elite agama
maupun negara sejatinya bergandeng tangan menyapa warga secara egaliter sebagai
warga bangsa, bukan sebagai pemeluk agama. Ini agenda yang tidak mudah di
tengah sikap keberagamaan elit yang demi kepentingan pragmatis tertentu memperkokoh
isu-isu berlabel agama.
Dengan demikian, agama betul-betul
menjadi sumber nilai, bukan pijakan simbolik bagi kepentingan pragmatis
sekelompok atau segolongan orang. Hal ini yang seharusnya dipelopori oleh umat
Islam sebagai mayoritas yang secara langsung maupun tidak langsung, memegang
kendali atas ruang publik. Di sinilah kebangsaan sejatinya tumbuh sebagai
ekspresi keberagamaan. Bahwa semakin tinggi tingkat keberagamaan (keislaman)
seseorang, seharusnya semakin dalam keterlibatannya dalam memperkuat pilar kebangsaan.
No comments:
Post a Comment