Eksklusi untuk Pelaku Korupsi
Kompas, Senin, 16 Januari 2012
A Bakir Ihsan
”When it is the governor who goes
bad, the fabric of Illinois is torn and disfigured and not easily repaired. You
did that damage.” Hakim Illinois, Amerika Serikat, James Zagel (2011)
Koruptor tak sekadar penjarah harta.
Ia sekaligus perusak bangunan sosial. Itulah dakwaan Hakim Zagel terhadap
mantan gubernur Illinois, AS, Rod Blagojevich, sebagaimana dikutip
chicagotribune.com (8 Desember 2011). Zagel menjatuhkan hukuman 14 tahun bagi
gubernur dari Partai Demokrat yang memimpin Negara Bagian Illinois 2003-2009
itu.
Korupsi tak sekadar urusan uang yang
ditilap (financial manipulations), karena itu bisa dikembalikan atau dirampas
kembali; atau hanya terkait perilaku menyimpang (misuse of public power)
sebagaimana didefinisikan JJ Senturia (1993) yang bisa diselesaikan secara
hukum. Korupsi, menurut Zagel, terkait destruksi atas senyawa sosial yang
kohesif. Korupsi berefek pada kerusakan sinergi sosial yang sudah berjalin
secara fungsional.
Ia menghambat, memutus, dan
membusukkan rangkaian kehidupan sosial yang sejatinya saling memberi efek dan
energi positif bagi kehidupan yang lebih baik. Kehadiran koruptor jadi duri
yang berpotensi memborokkan tatanan sosial dari dalam. Dan ini patut kita
prihatinkan seiring kian runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan
korupsi di negeri ini. Rilis Lembaga Survei Indonesia (8 Januari 2012), opini
masyarakat terhadap penegakan antikorupsi 2011 kian menurun dibandingkan 2010.
Sengkarut Kebejatan
Beberapa kali kita dikejutkan oleh
putusan bebas terdakwa kasus korupsi. Catatan Komisi Yudisial, puluhan koruptor
divonis bebas Pengadilan Tipikor. Indonesia Corruption Watch menyebutkan,
sampai November 2011 terdapat 40 terdakwa korupsi divonis bebas. Logika hukum
para hakim tak berdaya menjamah para koruptor. Kebebasan para koruptor sedikit
banyak memberikan angin segar bagi para calon dan pelaku korupsi yang belum
terendus untuk terus nekat korupsi. Jangankan efek jera, mereka justru kian cerdik
cari celah berkorupsi secara sistemik.
Ironisnya, ini ”mendapat angin” dari
anggota DPR. Upaya interpelasi atas kebijakan pengetatan pemberian remisi untuk
para koruptor dan teroris sedikit banyak menggoyah upaya sungguh-sungguh
pemberantasan korupsi. DPR yang mempertanyakan kebijakan moratorium terjebak
pada problem formalistik-legalistik yang selama ini sering dijadikan kedok
koruptor untuk korupsi. Seharusnya, sebagai wakil rakyat, mereka lebih melihat
dampak eksesif korupsi bagi rakyat dan mendukung sepenuhnya logika dan upaya
pemberantasan korupsi.
Lemahnya komitmen antikorupsi oknum
penegak hukum dan legislatif jadi pelengkap sengkarut korupsi di segala lini
kehidupan negeri ini. Korupsi masif ini berdampak terhadap deviasi kehidupan
yang tersamarkan di balik euforia demokrasi prosedural. Dampak sosiologis
inilah yang cenderung terlupakan dan terabaikan. Pada titik tertentu, korupsi
jadi ajang selebrasi kaum bedebah. Bahkan kalau bisa melakukan perlawanan
balik.
Kesadaran tentang efek destruktif
korupsi bagi tatanan sosial belum sepenuhnya tumbuh di masyarakat. Hal ini
terlihat dari belum adanya korelasi signifikan antara persepsi masyarakat yang
negatif terhadap korupsi dan penyikapan terhadap koruptor. Persepsi tak selalu
berkorelasi dengan aksi. Korupsi lebih dilihat sebagai kejahatan ekonomi dan
hukum (struktural), bukan beban sosial (kultural). Akibatnya, sanksi sosial dan
operasi masif atas potensi korupsi tak hadir secara komprehensif.
Lebih jauh, ini berdampak pada sikap
permisif terhadap korupsi. Korupsi dipandang bukan sesuatu yang aneh dan najis,
karena itu tak perlu dieliminasi dan dieksklusi. Bahkan dalam beberapa kasus,
koruptor tetap mendapatkan simpati (suara) dari konstituen untuk jabatan publik
baik di legislatif maupun di eksekutif. Dalam kurun 2008-2011 terjadi delapan
kali pelantikan kepala daerah berstatus tersangka dan terdakwa (Kompas,
9/1/12).
Padahal, secara moral, koruptor
berperilaku di luar kewajaran sosial dan secara personal mereka mengidap
kejiwaan menyimpang (psychiatric deviations). Pada titik tertentu,
apabila dibiarkan, ini bisa menjalar dan menular. Karena itu, perlu eksklusi,
pemisahan secara tegas, baik secara kategoris maupun sosiologis terhadap
koruptor. Eksklusi ini penting untuk memastikan berjaraknya efek domino dari
tindak koruptif yang destruktif para pelaku korupsi dengan tatanan sosial yang
belum sepenuhnya terkontaminasi.
Eksklusi harus jadi gerakan masif
masyarakat madani dan didukung media massa, di tengah runtuhnya citra bersih
institusi negara. Sebagaimana ditekankan Michel Foucault, identitas menyimpang
(gila) para koruptor bukan masalah empiris atau medis semata. Ini juga terkait
nilai-nilai sosial dan diskursus-diskursus yang terbentuk dalam masyarakat.
Eksklusi dibentuk karena kebutuhan
rakyat untuk kepentingan formasi sosial yang bersih dari korupsi. Paling tidak,
ada komitmen masif untuk menegaskan jarak antara kami (rakyat) dan mereka
(koruptor). Kami sebagai rakyat yang tak mau jadi korban, dan mereka sebagai
yang aneh dan beda, karena itu harus dieksklusi. ●
http://cetak.kompas.com/read/2012/01/16/03113334/eksklusi.untuk.pelaku.korupsi
No comments:
Post a Comment