Opini
Tak Ada Koordinasi, Potret Buram Kabinet SBY
Bisnis Indonesia, Senin, 26 Februari 2007
A. Bakir Ihsan
Perseteruan antara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan cermin problem relasi antarlembaga negara. Lebih spesifik lagi, ini adalah perilaku elite politik di tengah sistem presidensial yang tanggung.
Pemeriksaan Yusril sebagai saksi atas kasus mark-up yang terjadi di Depkum & HAM sebenarnya prosedur biasa. Jangankan jadi saksi, jadi tersangka pun apabila terbukti tak ada aral yang dapat mencegahnya, siapapun orangnya. Terbukti beberapa mantan menteri harus mendekam di penjara atas kasus yang menimpanya.
Ini artinya, langkah yang dilakukan KPK adalah langkah legal sebagai lembaga 'anti korupsi'. Itulah sebabnya muncul keanehan ketika Yusril meminta KPK menelaah Keppres Nomor 80/ 2003 tentang tender yang 'diabaikan' KPK dalam kasus pengadaan alat sadap.
Sebagai Mensesneg dan mantan Menkum & HAM, Yusril tentu tahu banyak dan banyak tahu tentang prosedur hukum, termasuk dalam hal proses pengadaan barang baik melalui tender maupun langsung. Karena itu, naif rasanya apabila seorang Yusril harus terjebak dalam prosedur penafsiran dan penyamaan persepsi hukum yang sudah pasti.
Itulah sebabnya langkah yang diambil Yusril ini tidak bisa dipahami dalam konteks hukum semata. Sulit dipungkiri bahwa pemanggilan Yusril terkait departemen yang pernah dipimpinnya telah menurunkan wibawa politiknya. Paling tidak reaksi Yusril atas pemeriksaan tersebut mencerminkan kecemasan politik yang dialaminya.
Kepatutan politik
Perseteruan KPK-Yusril juga mencerminkan adanya penyimpangan atas kepatutan politik dan substansi yang menjadi fokus penyidikan KPK, yaitu kasus mark-up di lembaga yang pernah dipimpin Yusril.
Masalah penyimpangan ini bukanlah hal baru. Kasus yang terjadi di Depkum & HAM merupakan puncak gunung es problem pengadaan barang yang memancing perselingkuhan antara pejabat dan pengusaha. Kasus pengadaan alat automatic fingerprints identification system (AFIS) hanyalah sepotong cermin dari pengadaan barang yang rentan terjadinya penyimpangan.
Belum lagi kasus-kasus mark- up yang lebih halus seperti penyaluran bantuan yang jumlahnya berbeda antara catatan di atas kertas (kwitansi) dengan uang atau barang yang diterima. Terjadinya penyimpangan disebabkan oleh dua belah pihak, baik pemberi maupun penerima bantuan. Pertimbangan saling menguntungkan sering menjadi lahan subur penyimpangan uang negara.
Pada titik ini, ada problem budaya politik di kalangan masyarakat dan pejabat. Dalam hal ini negara ditempatkan sebagai lumbung uang yang berhak dijarah oleh kepentingan pribadi maupun kelompok (vested interest). Padahal, negara merupakan tempat bergantung semua golongan dan kepentingan. Itulah sebabnya negara harus kuat melindungi dirinya dari penjarahan kelompok-kelompok tertentu.
Kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhadapan dengan realitas tersebut. Bahkan, muncul upaya-upaya pembalikan citra dari para koruptor yang mengaku dirinya dizalimi. 'Perlawanan' Yusril bisa menjadi angin segar bagi koruptor untuk bertepuk tangan dan mengikuti langkah yang sama.
Pada titik ini, etika politik Yusril sebagai pembantu presiden yang berkomitmen memberantas korupsi menjadi minus. Karena sebagai pejabat publik, sejatinya Yusril menjadi pendorong dan penopang kuat atas langkah-langkah pemberantasan korupsi.
Jadi bumerang
Sikap reaktif Yusril dapat memunculkan seribu kesan tentang kasus pengadaan AFIS di departemen yang pernah dipimpinnya. Wajar apabila sebagian anggota DPR dan beberapa elemen masyarakat (LSM) meminta KPK mengusut tuntas masalah tersebut.
Dengan kata lain, langkah Yusril ternyata menjadi bumerang bagi dirinya, bahkan secara tidak langsung bagi Presiden SBY sendiri. Itulah sebabnya Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi buru-buru mengklarifikasinya sebelum merembet pada wilayah yang lebih luas.
Fenomena Yusril merupakan puncak gunung es dari kinerja kabinet SBY. Langkah Yusril yang bersifat reaktif tersebut seharusnya tidak terjadi, seandainya dia menyadari posisi dirinya sebagai bagian dari lembaga negara yang memiliki tanggung jawab bagi upaya pemberantasan korupsi.
Langkah Yusril secara tidak langsung mendelegitimasi komitmen SBY sebagai kepala negara sekaligus atasannya yang secara serius menebang para koruptor. Lebih dari itu, perseteruan ini ikut mengganggu agenda lain yang seharusnya diselesaikan oleh Mensesneg, termasuk nasib PP Nomor 37 Tahun 2006 yang kontroversial.
Melihat kenyataan tersebut, sudah waktunya Presiden mengambil langkah penting bagi reposisi dan perbaikan kabinetnya. Kalau tidak, dia akan menjadi duri yang tidak saja menelanjangi eksistensi Presiden, tapi juga membusukkan pemerintahan secara keseluruhan. Daripada busuk susu sebelanga, lebih baik mengangkat kuman yang merusaknya.
Langkah paling tegas adalah evaluasi secara objektif atas kinerja seluruh anggota kabinet. Kasus Yusril merupakan pintu masuk paling mudah untuk mengevaluasi secara objektif dan transparan kesinambungan antara visi dan misi Presiden dengan akurasi implementasi kebijakan oleh para pembantunya.
Selama ini, kesan tebar pesona muncul karena ketidaksinambungan antara wacana yang dilontarkan SBY dan implementasi yang seharusnya diejawantahkan oleh para kabinetnya. Inilah potret buram kabinet SBY yang lebih banyak bermanuver diri tanpa koordinasi. Apakah kenyataan ini akan terus dibiarkan? Bila ya, SBY sedang menggali kuburnya sendiri.
No comments:
Post a Comment