Opini
SBY dan Paradigma Dependensia
Seputar Indonesia (Sore), Senin 5 Februari 2007
A. Bakir Ihsan
Dalam pidato awal tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengulang kembali tentang pentingnya kemandirian ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Tampaknya langkah ini menjadi komitmen SBY yang hendak diwujudkan di tengah berbagai kritik yang ditujukan pada dirinya. Secara verbal komitmen tersebut terlihat dari pengulangan term “kemandirian”, “ekonomi” dan “kemiskinan”, yang melampaui term-term lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan dalam teks pidato awal tahun. Sekaligus ia mempertegas komitmen sebelumnya yang berupaya membubarkan CGI dan melunasi utang IMF demi kemandirian negara bangsa.
Langkah Presiden SBY mengakhiri forum kreditor multilateral Consultative Group on Indonesia (CGI) pada 2007 memiliki banyak makna. Ia bukan sekadar simbol pemutusan utang negara dari lembaga kartel, namun juga memiliki makna penting bagi rekonstruksi paradigma kenegaraan yang selama ini menggantungkan nafasnya pada (utang) negara lain. Dari sekian pergantian rezim (presiden) tak satu pun yang berani mengambil langkah penting ini karena hegemoni paradigmatik modernisasi yang menyimpang.
Paradigma ketergantungan
Sesaat setelah menerima Managing Director IMF, Rodrigo Sato, Presiden SBY menegaskan bahwa Indonesia sudah mampu merencanakan pembangunan secara mandiri dan mengatasi problem utang luar negeri tanpa campur tangan CGI. Pernyataan ini merupakan langkah berani di tengah negara membutuhkan banyak dana untuk menutupi defisit anggaran negara.
Lebih dari itu, pernyataan tersebut menyiratkan problem utang yang telah menyebabkan kemandirian dan kedaulatan sebuah negara tergadaikan. Bayangkan, karena utang, semua program pembangunan yang hendak dijalankan harus dibahas, dikritisi, dan dikoreksi oleh para kreditor. Kenyataan ini sungguh sebuah ironi. Sebuah negara besar nan luas dan berdaulat harus tunduk pada kartel utang yang tergabung dalam CGI. Di sisi lain, utang telah memaksa negara-negara berkembang berlomba memasok bahan baku ke negara-negara maju dengan harga murah, sehingga terjadi surplus ekspor dan pendapatan produsen negara berkembang semakin tertekan. Di sini terlihat betul bahwa negara maju terus menjadi tempat bergantung yang selalu menangguk untung sementara negara berkembang terus tergantung dan buntung. Kenyataan ini semakin mengabsahkan paradigma dependensia yang melihat relasi antar negara berada dalam jaring-jaring ketergantungan yang menguntungkan negara metropolis dan menyengsarakan negara satelit.
Menurut paradigma dependensia, negara-negara miskin dan berkembang tidak akan pernah bangkit karena terjebak dalam jaring-jaring negara satelit yang diperas melalui berbagai cara oleh negara metropolis. Dan terbukti, sejak kemerdekaan, tidak banyak negara bekas jajahan berhasil bangkit menjadi negara maju. Mereka tetap berada dalam pergerakan zaman yang involutif. Negara penjajah (maju) tetap menjadi pengendali gerak sejarah negara bekas jajahan (berkembang). Agar relasi eksploitatif ini tidak terkuak, maka dibuatlah mitologi bahwa relasi negara berkembang dengan negara maju merupakan keniscayaan yang menyimbolkan kesetaraan dan kepercayaan antar negara. Dengan kata lain, pinjaman yang diberikan oleh negara maju merupakan bukti kepercayaan terhadap negara berkembang. Semakin besar utang yang didapat negara berkembang merupakan simbol kepercayaan yang semakin besar dari negara maju. Mitologi ini telah menghegemoni kesadaran elit yang terjebak dalam paradigma modernisasi yang mengagungkan pertumbuhan semata.
Paradigma dependensia ini menawarkan kemandiran sebagai jalan untuk keluar dari lingkaran setan utang. Revitalisasi terhadap berbagai potensi dana dalam negeri dan penggunaannya secara efektif akan membantu negara menapaki kemandiriannya. Menurutnya yang paling tahu problem dan jalan keluar dari persoalan sebuah negara adalah negara itu sendiri, bukan negara lain. Sebuah negara lahir, tumbuh, dan maju dari kekhasan sejarahnya masing-masing.
G to G
Rencana pembubaran CGI melahirkan banyak respon. Sebagian kalangan mengkhawatirkan langkah berani SBY tersebut dapat menyulitkan Indonesia mendapatkan kreditor bagi pembiayaan berbagai rencana pembangunan ke depan. Utang bagi kelompok ini merupakan kemestian di tengah kebutuhan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur negara berkembang seperti Indonesia.
Sebagian kalangan lainnya justru optimis bahwa langkah pembubaran CGI akan menempatkan Indonesia memiliki daya tawar yang diperhitungkan berhadapan dengan negara lain. Indonesia tidak lagi menghamba pada kartel utang yang menyusahkan, namun melalui perundingan yang dilakukan antarpemerintah (government to government). Pada titik ini pelunasan utang bukan sekadar penyelesaian pinjaman, namun juga terkait dengan equal partner sebuah negara yang berdaulat. Kemandirian dan kedaulatan betul-betul dapat dipertaruhkan apabila negara tidak dibebani utang yang sarat dengan kepentingan.
Kedua respon tersebut sebenarnya merupakan bentuk kepedulian atas kondisi Indonesia yang mengalami krisis multidimensi. Dalam kondisi demikian Indonesia membutuhkan banyak dana di satu sisi, dan persoalan pengelolaan yang efisien di sisi yang lain. Dengan kata lain, pembayaran utang dan pembubaran CGI memaksa Indonesia untuk mengencangkan ikat pinggang yang diikuti oleh upaya rekonstruksi dan pematangan kembali rencana anggaran pembangun. Langkah ini tampaknya mulai dilakukan oleh Presiden SBY melalui penghematan belanja istana. Sebagaimana diketahui terjadi penghematan yang cukup signifikan dalam belanja istana mulai Rp40 miliar pada 2005, dan Rp60 miliar pada 2006. Penghematan ini bisa dilakukan karena adanya skala prioritas dalam aktivitas presiden, misalnya pengurangan kunjungan keluar negeri. Langkah ini seharusnya menjadi signal bagi pejabat lainnya untuk mengencangkan ikat pinggang sebagai bentuk penyeimbang atas keputusan pemerintah yang membubarkan CGI dan pengurangan utang demi kemandirian bangsa.
Memupuk Kemandirian
Keputusan pelunasan utang IMF dan pembubaran CGI tidak hanya berdampak pada negara kreditor yang secara otomatis akan mengalami penyempitan lahan pengembangan dananya. Juga pada langkah-langkah yang harus diambil oleh Presiden SBY untuk kepentingan dalam negeri. Keputusan berani ini menuntut kebijakan berani lainnya agar dapat menutupi kekurangan dana bagi pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat pasca pelunasan utang IMF dan pembubaran CGI. Apalagi saat ini sedang tumbuh kinerja para pelaku usaha berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bahkan, menurut data Bappenas, secara nasional tercatat, selama krisis ekonomi UMKM telah mampu berperan sebagai "katup pengaman" baik dalam menyediakan alternatif kegiatan usaha produktif (sektor riil) maupun dalam penyerapan tenaga kerja.
Oleh karena itu, langkah menuju kemandirian harus terimplementasi dalam bentuk dukungan semua pihak. Dukungan bisa dilakukan melalui berbagai cara, termasuk, ikut menciptakan rasa aman sehingga investasi bisa masuk, menciptakan situasi yang kondusif sehingga tidak ada gejolak khususnya dalam dunia usaha. Begitu juga para politisi harus lebih menjalankan fungsinya sebagai kontrol daripada pengumbar pernyataan-pernyataan yang membuat masyarakat resah.
Langkah pelunasan utang ini bisa dipahami sebagai langkah konkret upaya pembebasan mata rantai utang yang akan melilit generasi mendatang. Juga sebagai bentuk pertanggungjawaban atas beban sejarah yang dipikul oleh Presiden SBY. Langkah ini akan berhasil dan berlanjut apabila berjalin berkelindan dengan komitmen seluruh anak bangsa untuk mandiri.
Namun demikian, pelunasan utang sebagai simbol kemandirian bangsa tidak serta merta menutup kerjasama dengan pihak asing. Di tengah arus globalisasi, kerjasama internasional tak bisa dielakkan dengan tetap mengedepankan equal partner. Koalisi-koalisi akan terus berlangsung menurut langgam politik yang ada. Nasionalisme tidak menafikan kerjasama apalagi menutup diri. Kuncinya bagaimana relasi antar negara tersebut saling menguntungkan di atas kedaulatan masing-masing.
Untuk melihat keberlanjutan dan konsistensi kebijakan Presiden SBY tersebut, bisa diukur dari langkah-langkah konstruktif lainnya, seperti jumlah utang baru pada negara bilateral maupun multilateral. Apakah pasca pembubaran CGI dan pelunasan utang IMF, utang negara berada di bawah utang yang ada atau sebaliknya. Begitu juga program pembangunan, apakah ia berdasarkan prioritas dalam negeri dengan alokasi APBN yang lebih terarah atau tidak. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah optimalisasi dana yang ada dengan meminimalisasi terjadinya tindak korupsi. Karena persoalan utang selama ini tidak sepenuhnya karena bunga utang yang membengkak dan intervensi asing, namun juga penggunaannya yang kurang efektif, akibat, salah satunya, korupsi yang sistemik.
Di sinilah kemandirian sebuah bangsa dipertaruhkan. Ia tidak sekadar memutus mata rantai ketergantungan akibat utang negara asing, namun juga komitmen bersama untuk menata diri menjadi bangsa yang lebih beradab dan bermartabat dengan membebaskan diri dari korupsi.*
No comments:
Post a Comment