Opini
Indonesia dalam Perdamaian Dunia
Republika, Sabtu, 24 Februari 2007
A Bakir Ihsan
Dua hari berturut-turut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima dua tamu penting, yaitu Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI) Prof Ekmeleddin Ihsanoglu (12/2) dan Kepala staf gabungan angkatan bersenjata Amerika Serikat (AS), Jenderal Peter Pace (13/2).
Kehadiran kedua tamu ini membawa misi yang sama. Pertama, mempererat kerja sama bilateral baik dengan OKI maupun dengan AS. Dengan AS terutama terkait kerja sama militer. Sementara dengan OKI di samping meresmikan proyek bantuan selama 15 tahun bagi anak-anak yatim korban tsunami, juga untuk meresmikan proyek OIC Village di Bantul, Yogyakarta. Yaitu rumah-rumah yang dibangun oleh berbagai organisasi kemanusiaan di bawah koordinasi Sekjen OKI.
Kedua, harapan atas peran Indonesia di tengah ketegangan global baik terkait penyelesaian konflik masyarakat Muslim di Timur Tengah maupun wilayah lainnya, seperti Filipina Selatan yang sejak 1993 proses damainya berada di bawah koordinasi organisasi OKI. Begitu juga dengan AS yang berharap Indonesia dapat berperan dalam meredam ketegangan akibat proyek nuklir Iran dan Korea Utara.
Modal struktural dan kultural
Harapan atas peran Indonesia di dunia internasional bukanlah tanpa dasar. Baik secara struktural maupun kultural Indonesia memiliki amunisi untuk melakukan langkah-langkah perdamaian dunia. Paling tidak upaya minimalisasi konflik yang semakin menyeruak di berbagai belahan negara bisa dilakukan secara maksimal melalui dua modal yang dimiliki Indonesia.
Pertama, modal struktural. Secara struktural Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB 2007-2008. Terpilihnya Indonesia, yang didukung lebih dari 70 persen anggota PBB yang punya hak pilih, menunjukkan bukti posisinya di mata internasional. Selain Qatar, Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar dalam badan keamanan dunia tersebut. Sebelumnya, Mei 2006, Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara.
Kedua, modal kultural. Secara kultural Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar yang berhasil mencitrakan dirinya sebagai negara Muslim moderat. Paling tidak hal tersebut terlihat dari atensi beberapa kepala negara baik Barat maupun Timur Tengah, bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi, menganggap Indonesia sebagai negara yang bisa memainkan perannya dalam membangun perdamaian di tengah konflik global.
Bagi Indonesia sendiri, dalam beberapa pertemuan dengan berbagai negara, perdamaian sering menjadi isu pembahasan yang hangat. Bahkan dalam kunjungan George W Bush tahun lalu di Bogor, Presiden SBY menyampaikan 'proposal damai' bagi penyelesaian konflik komunal di Irak. Tawaran ini dapat dianggap sebagai langkah berani di tengah obsesi AS menjadi polisi dunia.
Walaupun proposal tersebut tidak bersambut, namun upaya-upaya serupa harus tetap disuarakan sebagai bentuk keseriusan Indonesia bagi upaya perdamaian dunia, khususnya di negara-negara Muslim. Salah satu isi proposal bagi penyelesaian Irak adalah penarikan tentara AS dari Irak. Tawaran ini ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan yang diambil AS baru-baru ini yang justru menambah kekuatan tentaranya di Irak.
Diskriminasi nuklir
Ketegangan mutakhir yang sangat mengancam, selain kasus laten Israel-Palestina, adalah langkah-langkah ekstensif AS atas kasus nuklir Iran dan Korea Utara. Setelah AS meluluhlantakkan Irak dengan isu senjata pemusnah massal, kini ia mengintai Iran dengan isu nuklir.
Persoalan nuklir sebenarnya sudah menjadi agenda tersendiri bagi PBB. Sebagaimana diketahui langkah nonkoperatif yang diperlihatkan Iran diiringi oleh sanksi yang diberikan PBB. Bahkan bulan Februari ini menjadi tenggat akhir bagi Iran untuk menghentikan pengayaan uranium. Otoritas PBB ini seharusnya bisa lebih optimal, sehingga tidak ada alasan campur tangan atas nama negara tertentu seperti yang diperlihatkan AS.
Selain modal struktural, Indonesia sebagai pihak Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang selama ini konsisten memperjuangkan perlucutan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya dapat secara aktif dan intensif bagi proses denuklirisasi. Langkah-langkah cepat dan tepat ini perlu dilakukan mengingat semakin memanasnya ketegangan, khususnya antara AS, Iran, dan Korea Utara. Isu nuklir Iran telah memancing ketegangan ekstensif lainnya berupa pengakuan secara telanjang dari PM Israel bahwa negaranya adalah negara nuklir.
Dari sini semakin terlihat bahwa ada diskriminasi dalam pengungkapan kasus nuklir. Negara menjadi terdakwa ketika ia tidak menunjukkan sikap koperatifnya terhadap kepentingan AS. Dengan demikian, persoalan nuklir yang hanya ditimpakan pada Iran dan Korea Utara lebih bernuansa stigmatis dan hegemonik. Langkah-langkah stigmatis dan hegemonik ini telah melahirkan mentalitas terkepung. Oleh sebab itu, moderasi diplomasi yang dimainkan Indonesia harus lebih mengacu pada pengungkapan secara objektif dan perlakuan yang sama terhadap semua negara yang mengembangkan nuklirnya, termasuk Israel (Nugroho Wisnumurti, 2007).
Stigmatisasi dan hegemonisasi tersebut pada akhirnya melahirkan kecurigaan bahkan dendam yang memperkeruh upaya perdamaian. Belum lagi upaya-upaya provokatif yang dilakukan Israel dalam penggalian di sekitar masjid Al Aqsha. Persoalan utama bukan penggaliannya, tetapi lebih pada semakin terpupuknya kebencian Muslim Palestina terhadap Israel.
Bukan sekadar pilihan
Memang tidak mudah bagi Indonesia untuk melangkah jauh keluar di tengah berbagai problem dalam negeri. Banjir bencana dan belum kuatnya landasan budaya politik partisipan dengan sendirinya memecah perhatian pemerintah dalam upaya menjembatani penyelesaian konflik di berbagai negara. Belum lagi potensi-potensi konflik yang setiap saat siap meledak, seperti di Poso, Papua, dan daerah lain. Walaupun secara kuantitatif konflik di Tanah Air mulai berkurang, kualitasnya tidak bisa disepelekan.
Namun demikian, keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian dunia bukan sekadar pilihan moral atau konstitusi negara. Lebih dari itu, ia merupakan keharusan struktural dan kultural dalam tatanan global yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang dianggap mampu memainkan peranannya dalam penyelesaian konflik internasional. Kemampuan tersebut harus ditunjukkan melalui langkah-langkah konkret baik dengan pengerahan pasukan keamanan maupun bantuan medis bagi para korban konflik. Selain pemerintah, partisipasi lembaga-lembaga sosial, seperti NU, Muhammadiyah dan lembaga lain tetap bermakna.
Pada akhirnya, keandalan berdiplomasi dan kemampuan berkomunikasi akan ikut menentukan berhasil tidaknya upaya mediasi untuk minimalisasi konflik. Secara politik, pertaruhan di kancah internasional ini tidak memiliki dampak signifikan bagi pencitraan diri Presiden SBY di dalam negeri. Namun dalam konteks kemanusiaan, ia jauh lebih bermakna dan abadi.
No comments:
Post a Comment