Opini
Solidaritas Politik di Negeri Bencana
Koran Tempo, Jum’at 21 Juli 2006
A. Bakir Ihsan
Bencana telah menjadi bagian dari nafas kita. Longsor, banjir, tsunami, dan gempa bumi seperti tak hendak berhenti. Bencana alam menjadi pelengkap dari rangkaian bencana sosial baik politik, ekonomi, hukum, maupun budaya yang tak kunjung usai. Pelbagai teori dan paradigma runtuh tak berdaya mendiagnosa kedua bencana tersebut. Secara nalar tak ada relasi antara bencana alam dan bencana sosial. Namun dampaknya sama. Ada korban nyawa, harta, dan keluarga.
Selama ini terjadi diskriminasi paradigmatik terhadap kedua bencana –alam dan sosial—tersebut. Paling tidak respon dan solidaritas yang muncul dari kedua bencana itu sangatlah berbeda. Bencana alam selalu menghadirkan solidaritas kemanusiaan universal. Bencana alam mengantarkan manusia pada kesadaran fitrinya sebagai sosok yang dermawan, peduli, dan begitu simpati. Segala sekat kepentingan mencair dan menyatukannya dalam satu rasa; prihatin, duka, dan lara.
Sementara bencana sosial melahirkan solidaritas terbatas. Kebersamaan atas nama kemanusiaan maupun kebangsaan justru tercerai berai mengikuti kepentingan yang segmented, eksklusif, dan sempit. Masing-masing kelompok merasa paling benar sehingga saling menyalahkan serta melempar tanggung jawab pada pihak lain. Akibatnya sepanjang bencana sosial berlangsung, carut marut wacana dan pertarungan kepentingan begitu semarak yang justru memperlemah pilar rehabilitasi bencana itu sendiri.
Lebih Eksesif
Kalau ditelaah secara jernih bencana sosial memiliki dampak yang jauh lebih eksesif dibandingkan bencana alam. Kerusakan infrastruktur akibat bencana alam bisa direkonstruksi dalam hitungan waktu. Namun kerusakan akibat bencana sosial membutuhkan regenerasi bagi upaya pemulihannya. Orde Baru yang terlanjur menciptakan sistem totaliter dengan ekonomi yang sarat KKN belum mampu diselesaikan dalam satu windu reformasi. Sementara untuk rekonstruksi bencana alam seperti tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam yang terjadi tahun lalu, kini mulai memasuki tahap penyempurnaan.
Melihat kenyataan tersebut, perlu rekonstruksi paradigma dalam pembacaan terhadap bencana, sehingga bisa menumbuhkan solidaritas yang sama. Bahkan bencana sosial seharusnya memunculkan solidaritas yang lebih intens karena dampaknya yang lebih eksesif dan destruktif. Sehingga langkah-langkah recovery bagi problem kebangsaan (bencana sosial) yang sampai saat ini masih jauh panggang dari api dapat teratasi.
Hancurnya solidaritas dalam bencana sosial disebabkan oleh lemahnya landasan kebangsaan di satu sisi dan kuatnya ambisi politik di sisi yang lain. Masing-masing melihat persoalan ekonomi, politik, hukum, dan budaya sebagai alat merengkuh kekuasaan, sehingga bencana bukan untuk direhabilitasi tapi dieksploitasi. Kekuasaan tidak dipahami sebagai media artikulasi dan agregasi kepentingan seluruh anak negeri. Konsekuensinya terjadi persaingan abadi antara kompetitor kekuasaan khususnya terhadap pemenang pemilu. Tidak heran apabila SBY menengarahi adanya gerakan lawan politiknya yang kalah dalam Pilpres 2004 untuk menghambat laju kepemimpinannya.
Inilah problem kebangsaan kita saat ini sehingga menghambat langkah-langkah recovery dan perwujudan agenda-agenda reformasi. Kuatnya kepentingan kelompok (vested interest) dan obsesi untuk menempatkannya di atas kepentingan kelompok lain semakin memperpanjang masa emergency bencana sosial kita.
Sekat-Sekat Politik
Depolitisasi yang dipasarkan Orde Baru ternyata berbuah antusiasme politik di masa reformasi. Hampir semua kekuatan terseret dalam gelombang politisasi. Antusiasme politik ini bisa dilihat dalam dua fakta. Pertama, kuatnya perebutan kekuasaan. Pemilu menjadi ajang paling absah untuk meraih kekuasaan. Dan secara faktual terlihat bagaimana persaingan sengit bahkan mengarah pada pembunuhan karakter (character assassination) seakan dihalalkan demi kekuasaan. Kenyataan ini berdampak pada fakta kedua, yaitu kuatnya politisasi. Euforia politik mengarah pada politisasi yang lebih didasari kepentingan kelompok. Konsekuensinya semua elemen kehidupan ditarik ke dalam pertarungan politis demi keuntungan-keuntungan politis kelompoknya. Bahkan persoalan gempa bumi di Yogyakarta pun dieksploitasi demi kepentingan politik dengan mempersoalkan, misalnya, kehadiran SBY di Yogyakarta, perbedaan jumlah korban, sampai isu ketidakseriusan pemerintah merehabilitasi korban bencana. Padahal substansi persoalannya adalah bagaimana para korban dapat dibantu dan dipulihkan secepat mungkin. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa politik lebih dipahami sebagai ekspresi kebebasan untuk meraih profit politis bagi kelompoknya dengan mengabaikan konteks.
Menguatnya dua kecenderungan euforia politik di atas merupakan konsekuensi logis dari belum adanya pijakan kultural yang kuat untuk berdemokrasi. Landasan yang ada adalah nilai-nilai otoritarianisme dan totalitarianisme yang mendorong masing-masing kelompok menghegemoni kelompok lainnya. Konsekuensinya, agenda-agenda recovery bagi problem sosial baik di bidang ekonomi, politik, hukum, dan budaya terabaikan.
Di tengah tersedia prosedur-prosedur demokrasi dan membludaknya para pakar dan cerdik cendekia, idealnya beragam bencana sosial dapat diretas sehingga secara bersama-sama memberikan solusi bukan politisasi yang berbuah intimidasi dan tindak anarki.
Politisasi telah mempertebal pengelompokan kepentingan yang bermuara pada sekat-sekat sosial yang dibangun berdasarkan emosionalitas kelompok. Kontrol terhadap kekuasaan tidak berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang obyektif dan akurat, tapi lebih untuk mendelegitimasi kekuasaan dengan memobilisasi emosi massa. Konsekuensinya pertempuran kritik tanpa akhir antar elit mengalir sepanjang reformasi. Semakin hari reformasi semakin banyak melahirkan politisi yang apriori dan mengalienasi solidaritas sosial.
Kenyataan ini sungguh paradoks dengan keberhasilan masyarakat menyelenggarakan demokrasi langsung (direct democracy), baik pada Pilpres maupun Pilkada. Apabila fenomena ini dibiarkan akan menghancurkan keadaban politik yang pluralis dan inklusif. Politisi akan mengendalikan demokrasi dan masyarakat terus dijadikan kuda troya kaum elit. Inilah demokrasi yang oleh Olle Tornquist disebut sebagai demokrasi kaum penjahat (bad guy democracy). Yaitu demokrasi yang digerakkan oleh segerombolan orang yang mencampakkan nilai-nilai demokrasi.
Solidaritas Politik
Salah satu keputusan penting pertemuan Senior Official Meeting (SOM) atau pertemuan pejabat senior setingkat menteri, KTT Asia Afrika 2005 adalah terbentuknya solidaritas politik (political solidarity). Sebuah semangat merangkai beragam kepentingan politik untuk menjawab tindak kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang marak belakangan ini. Keputusan ini tentu berdasarkan realitas politik yang memperlihatkan kuatnya politik kepentingan yang justru memupus efektivitas penyelesaian agenda kemanusiaan di masing-masing negara.
Solidaritas politik tidak berpretensi menyeragamkan kepentingan, tapi mengefektifkan perjuangan. Transisi reformasi menyediakan ruang berseminya beragam kepentingan yang dapat efektif apabila berada dalam sinergi kebersamaan yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas. Agenda tersebut tentu tidak bisa dijalankan di atas antagonisme politik dan di atas landasan politik negara yang rapuh. Indonesia yang secara politik sudah memenuhi standar formal demokrasi idealnya dapat mendorong tumbuhnya solidaritas politik yang pada akhirnya akan memacu proses pendalaman demokrasi (a deepening of democracy).
Bencana alam telah mengajari kita tentang pentingnya solidaritas kemanusiaan yang meretas sekat-sekat dan simbol-simbol sosial. Sementara bencana sosial justru mempertebal sekat-sekat massa dan membentuk ruang solidaritas kelompok berdasarkan kesamaan kepentingan. Di sinilah penguatan solidaritas politik menjadi sangat signifikan. Yaitu sebuah upaya mensinergikan (bukan menfusikan) seluruh kekuatan politik untuk memperkuat landasan partisipasi masyarakat bagi perbaikan tatanan kehidupan bernegara. Tanpa solidaritas politik, negara tidak akan mampu bekerja secara maksimal. Negara akan selalu disibukkan oleh langkah-langkah politiking, seperti ancaman impeachment dan percepatan pemilu, yang menjadi wacana dan agenda kaum politisi di Senayan maupun politikus lain yang tak pernah puas sebelum kekuasaan direngkuhnya. Inilah nasib solidaritas politik di negeri seribu bencana.*
No comments:
Post a Comment