Opini
Hak Pilih TNI & Api Politik SBY
Seputar Indonesia, Senin 17 Juli 2006
A. Bakir Ihsan
TNI seperti mata air yang tak pernah habis diwacanakan. Hal ini tidak terlepas dari ekspektasi masyarakat terhadap TNI dan sepak terjang TNI itu sendiri. Paling tidak ada dua isu penting yang belakangan mencuat terkait dengan “nasib” TNI, yaitu hak pilih dan penemuan senjata di rumah petinggi TNI. Keduanya fenomena ini dapat dijadikan variabel yang saling terkait untuk memotret sosok TNI ke depan. Paling tidak fakta penumpukan senjata oleh oknum TNI dapat dijadikan potret kecil carut marut TNI dalam “mengendalikan” anggotanya.
Wacana tentang hak pilih mengkristal dalam dua mainstream yang berkutat pada persoalan waktu. Pertama, sebagian politisi di Senayan menginginkan TNI dapat menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009. Alasannya karena secara konstitusi mereka dijamin untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua, beberapa pejabat terkait dengan TNI, seperti Menhan, Juwono Sudarsono dan Gubernur Lemhanas, Muladi menginginkan TNI menggunakan hak pilihnya pada pemilu dua atau tiga periode berikutnya. Alasannya lebih pada persoalan kultur TNI yang dianggapnya belum siap, terutama dengan ditemukannya penumpukan senjata. (Sindo,14/7/06). Lalu bagaimana sikap TNI?
Walaupun Panglima TNI Djoko Suyanto menyatakan masih menunggu hasil kajian internal TNI untuk menentukan hak pilih TNI, namun secara de jure TNI tidak bisa melepaskan diri dari kehendak sipil sebagai bagian dari manifestasi supremasi sipil. Tidak heran apabila TNI mengikuti irama yang ditabuh oleh sipil. Kini kartu truf ada di tangan sipil untuk melihat secara jernih sebelum menentukan “nasib” TNI baik secara politik maupun budaya.
TNI dan Birokrasi
Reproduksi wacana hak pilih TNI menunjukkan bahwa TNI masih menjadi kekuatan strategis di alam reformasi ini. Bahkan Presiden SBY sedari awal mewanti-wanti pada Panglima TNI saat pelantikannya agar TNI tidak bermain api politik. Pernyataan ini menyiratkan dua makna. Pertama, TNI harus mampu berdiri di atas semua kelompok dan golongan. Kedua, politik praktis akan selalu memunculkan pengelompokan-pengelompokan yang dapat mengancam netralitas TNI.
Namun kalau dilihat secara kelembagaan, TNI sama dengan birokrasi yang dalam sejarahnya sama-sama pernah menjadi kuda troya kekuasaan. TNI menjadi alat represi penguasa untuk kepentingan status quo, sementara birokrasi menjadi mesin hegemoni partai penguasa. Keduanya sama-sama memiliki hirarki, struktur, dan kelembagaan yang sistemik dengan tingkat komando sesuai hirarki strukturalnya.
Birokrasi dan TNI sama-sama memiliki sejarah kelam akibat kekuasaan. Namun seiring dengan bergulirnya reformasi, kedua lembaga tersebut bermetamorfose sesuai angin reformasi. Birokrasi melepaskan baju politik kekuasaannya seiring dengan depolitisasi birokrasi yang memberikan kebebasan memilih bagi seluruh aparat birokrasi. Bahkan baju korpri pun harus ganti, karena dianggap masih menyisakan warna politik Orde Baru.
Begitu pun TNI. Angin reformasi telah memaksanya untuk memeloroti baju politiknya. Bahkan gurita bisnis yang telah lama digelutinya harus diamputasi. Reposisi dan reformasi TNI merupakan buah pergulatan yang memaksa TNI menguburkan segala hasrat politiknya. Mereka keluar dari lembaga legislatif lebih awal dari rencana semula dan mulai merestrukturisasi bisnisnya untuk kemudian diserahkan pada negara. Bahkan dunia internasional memuji langkah TNI yang serius mereformasi diri, sehingga mereka mencabut embargo senjata terhadap Indonesia. Kalau demikian, mengapa TNI sering dianggap ancaman tatanan demokrasi di tanah air sehingga harus menunda atau dianggap tidak layak menggunakan hak pilihnya, sementara aparat birokrasi sudah melakukannya seiring dengan bergulirnya reformasi?
Komando sipil
Masalah hak politik (pilih) TNI tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada TNI. Karena reformasi melibatkan banyak pihak. Bahkan sipil merupakan komando utama dari laju reformasi itu sendiri. Dengan kata lain, siap tidaknya TNI menggunakan hak pilihnya tergantung pada kesiapan sipil untuk mengawal peran politik TNI. Sebagaimana Antonio Gramsci bahwa masyarakat merupakan fondasi utama dari eksistensi sebuah negara. Oleh sebab itu tentang apakah TNI layak menggunakan hak pililhnya pada Pemilu 2009, maka tergantung pada bagaimana sipil memperlakukan TNI.
Beberapa masalah krusial yang sering dikhawatirkan atas hak pilih TNI adalah pemanfaatan komando teritorial (koter) bagi mobilisasi politik kekuasaan dan kemungkinan terjadinya perpecahan di tubuh TNI. Kekhawatiran ini sah-sah saja, karena dari pengalaman yang lalu TNI menjadi alat politik.
Namun kalau melihat peta politik dan kuantitas jumlah anggota TNI yang hanya berjumlah tidak lebih dari 350 ribuan personel, eksistensi hak pilih TNI tidak terlalu signifikan. Apalagi kalau pada pemilu 2009 nanti calon presiden berlatar belakang TNI lebih dari satu orang, seperti pada pemilu lalu, maka jelas suara TNI akan semakin kecil karena terpecah. Dengan kata lain, pilihan politik di lapangan akan mengalami polarisasi sesuai pertimbangan masing-masing anggota TNI. Penggunaan hak pilih bagi TNI bukan atas nama korp TNI, tapi sebagai individu warga bangsa yang punya hak asasi. Ia bisa memilih calon yang berlatar belakang TNI, tapi bisa juga memilih calon sipil, atau bisa jadi tidak menggunakan hak pilihnya.
Kekhawatiran terjadinya politisasi TNI seharusnya bisa ditepis, apabila sipil secara tegas meletakkan dan menegakkan aturan main yang ketat terhadap hak politik TNI. Dengan adanya penegakan aturan tersebut, TNI bisa dikontrol secara maksimal sehingga tercipta, apa yang disebut oleh Morriz Janowitz sebagai, sebuah democratic-competitive. Dan ini bisa dilakukan oleh politisi sipil, khususnya para anggota DPR. Kalau selama ini DPR bisa mengontrol presiden, maka terhadap TNI seharusnya bisa lebih maksimal. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Sipil sering menarik-narik TNI untuk bermain politik. Inilah yang justru patut kita khawatirkan, yaitu inkonsistensi sipil dalam menegakkan aturan main dan mengawal reformasi TNI.
Relokasi politik TNI
Salah satu agenda penting yang harus segera diselesaikan oleh sipil adalah relokasi politik TNI melalui singkronisasi dua UU yang sampai saat ini justru mengambangkan hak-hak politik TNI. Yaitu UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang melarang anggota TNI aktif berpolitik praktis dan UU Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 yang memberi kesempatan pada seluruh warga negara termasuk anggota TNI untuk tampil sebagai calon pimpinan daerah. Ambiguitas kedua UU ini bisa menjadi bumerang bagi sepak terjang politik TNI.
Sebagai kompromi, maka sipil seharusnya memberikan jalan sintesis dengan memberikan hak pilih, bukan hak dipilih, bagi anggota TNI sebagai warga negara, bukan sebagai anggota korps. Dan ini harus dituangkan dalam UU baru. Namun sayangnya, sampai saat ini, di tengah wacana hak pilih TNI mulai mereda, belum ada tanda-tanda dari sipil untuk merelokasi politik TNI secara konsisiten dalam bentuk UU.
Realitas tersebut memperlihatkan bahwa persoalan utama politik di negeri ini, termasuk dalam hal pemberian hak pilih bagi TNI adalah masih mengambangnya sikap politik kaum sipil. Reformasi masih dibiarkan sebagai makhluk liar yang bisa dimainkan oleh siapapun, termasuk oleh TNI. Sipil seharusnya membangun demarkasi yang tegas untuk merelokasi ranah TNI sepenuhnya pada wilayah pertahanan. Kalau pun mereka harus diberi hak pilih, harus ada aturan yang ditegakkan secara konsisten bagi implementasi relokasi politik tersebut. Sehingga tidak terjadi politisasi dan mobilisasi terhadap TNI.
Oleh sebab itu, apabila TNI tetap mendapatkan hak pilihnya pada pemilu 2009 nanti, maka anggota TNI harus dipaksa melepaskan seluruh atribut kemiliterannya baik secara struktural maupun kultural dan hanya diberikan hak mencoblos, bukan kampanye. Dan pencoblosan tidak dilakukan di lingkungan TNI, tetapi di rumah masing-masing, sehingga tidak terjadi mobilisasi dan pemaksaan berdasarkan garis komando. Pada titik ini militer harus betul-betul meletakkan dirinya sebagai warga negara biasa. Dan pada wilayah itulah hak politik TNI digunakan. Semua ini perlu payung hukum, sehingga TNI bisa menyesuaikan diri untuk menikmati demokrasi dan terjauh dari api politik sebagaimana diwanti-wanti oleh Presiden SBY. Karena sekali bermain api politik, ia bisa terbakar dan mengubur reformasi yang telah dirintisnya.*
No comments:
Post a Comment