Opini
Historia Konstitusi di Tengah Transisi
Sinar Harapan, Jum’at 21 Juli 2006
A. Bakir Ihsan
Historia tak pernah mati. Bahkan di tengah hamparan himpitan, historia justru menjadi obsesi. Kenyataan inilah yang kita saksikan belakangan ini. Mulai upaya rejuvenasi Pancasila yang pernah dikutuk bersama sampai upaya kembali pada UUD 1945 asli. Bahkan mereka menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan dektrit pemberlakuan kembali UUD 1945.
Hasrat untuk menghidupkan kembali warisan masa lalu merupakan bentuk historia karena beragam latar kepentingan. Ia muncul bisa sebagai ekspresi kekecewaan atas carut marut yang terjadi saat ini, bisa juga status quo oriented. Tidak heran apabila sebagian masyarakat mengidamkan hidup kembali seperti masa Orde Baru yang miskin gejolak dan separatisme.
Kini masyarakat dibawa pada suasana yang jauh berbeda, yaitu kebebasan yang berhasil “mengobrak-abrik” ranah struktural yang dianggap pro status quo. Ada yang terancam dan ada yang terpental. Mereka yang terancam, apalagi yang terpental, tentu merasa tidak nyaman dengan realitas yang dihidangkan reformasi. Itulah sebabnya, bagi sebagian orang reformasi adalah ancaman. Euforia justru memupuk gejolak dan merusak harmoni. Inilah agenda yang dihadapi konstitusi yang telah diamandemen dan tengah disosialisasikan.
Tiga Kelompok
Pada dasarnya konstitusi merupakan fondasi yang serba mencakup. Namun fondasi ini terlanjur diagungkan bukan disosialisasikan, diyakini bukan dipahami. Konsekuensinya ia selalu menjadi tempat berlindung sekaligus alat legitimasi beragam bentuk kekuasaan. Dan secara historis hal tersebut telah menyeret bangsa ini dalam potret suram sejarah akibat ulah penguasa yang otoriter dan sentralistik baik pada masa Soekarno maupun Soeharto.
Sakralitas konstitusi inilah yang mendorong dilakukannya amandemen UUD 1945. Jadi amandemen tidak hanya didasarkan pada fakta historis (kekuasaan) yang otoriter, namun sekaligus upaya desakralisasi konstitusi melalui rekonstruksi atas kekuasaan yang cenderung tak terbatas dan paradoks.
Selama ini ada tiga kelompok atau aliran dalam menyikapi konstitusi. Pertama, kelompok yang ingin mengembalikan UUD 1945 sebagaimana aslinya. Kelompok ini secara otomatis tidak menginginkan adanya amandemen apalagi sosialisasi hasil amandemen sebagaimana dilakukan oleh anggota MPR saat ini.
Kedua, kelompok yang menganggap amandemen sudah selesai dan kini waktunya sosialisasi hasil amandemen sehingga dapat dipahami oleh seluruh warga negara.
Ketiga, kelompok yang masih menganggap perlu amandemen tambahan. Hal ini diajukan oleh mereka yang merasa tidak terapresiasi dalam konstitusi seperti yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait perluasan wewenangnya.
Paradoks Sakralisasi
Ketiga kelompok tersebut ketika ditempatkan secara diametral sedikit banyak mengganggu proses pembumian konstitusi. Bahkan akan menjebak konstitusi tetap berada dalam sakralitasnya yang tidak berpijak pada realitas. Kelompok-kelompok tersebut, khususnya kelompok pertama dan ketiga, akan menyebabkan konstitusi berada dalam ambigu. Kelompok pertama yang jelas-jelas menolak terhadap amandemen menjadi ganjalan sekaligus menghambat proses sosialisasi konstitusi. Sementara kelompok ketiga bisa mementahkan proses amandemen yang sudah ada sekaligus dapat menyebabkan kerancuan pemahaman masyarakat terhadap konstitusi.
Yang menjadi korban atas perseteruan antara yang pro dan kontra amandemen konstitusi adalah masyarakat. Sosialisasi UUD hasil amandemen sesungguhnya dapat mendekatkan masyarakat terhadap konstitusi. Namun paradoksalitas paradigma di kalangan elit terkait eksistensi konstitusi menyebabkan konstitusi semakin tak tersentuh.
Problem kultural juga menjadi bagian yang tidak kalah problematisnya dalam masalah sosialisasi konstitusi. Masyarakat kita sudah terlanjur menjadikan UUD sebagai realitas yang mewah sekaligus sakral dan hanya menjadi konsumsi para elit politik. Sementara rakyat hanya menjadi obyek konstitusi. Konsekuensinya konstitusi terkesan lebih sebagai belenggu daripada tatacara hidup bernegara secara beradab. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari represi kesadaran masa lalu yang memang menempatkan UUD layaknya “kitab suci” yang penuh ancaman. Masyarakat hanya diberi ruang untuk meyakini, bukan memahami.
Akumulasi dari perlakuan terhadap UUD yang menyimpang tersebut menyebabkan hancurnya aturan main masyarakat. Masyarakat atas nama otonomi dan kebebasan merasa berhak untuk berkreasi membuat konstitusi-konstitusi baru. Tumbuh suburnya peraturan daerah (Perda) yang “bersimpangan” dengan fondasi kenegaraan yang beragam menjadi salah satu bukti matinya konstitusi berhadapan dengan otonomi masyarakat lokal. Kenyataan ini merupakan potret nyata dari distorsi dan deviasi pemahaman elit politik lokal terhadap UUD sebagai landasan kebangsaan yang mengayomi seluruh anak bangsa.
Reformasi Simbolik
Kalau kita lihat secara jernih, akar kompleksitas responsi terhadap eksistensi konstitusi adalah tidak tersedianya pijakan kultural. Konstitusi sebagai simbol ekspresi nilai-nilai kebangsaan terdistorsi oleh sikap para elit yang lebih mengedepankan agenda politik daripada agenda kebangsaan. Kaum politisi yang bertanggungjawab atas kesadaran politik kebangsaan, justru meletakkan dirinya dalam sekat-sekat kepentingan politik praktis.
Keberadaan perda-perda syariat (keagamaan) di beberapa daerah menandakan pergulatan reformasi masih berhenti pada tataran simbolik. Perubahan sebagai bagian dari agenda reformasi berhenti pada amandemen konstitusi. Akibatnya perubahan sejati tak pernah terjadi. Paling tidak amandemen konstitusi belum mampu dipahami oleh pelbagai aparat yang seharusnya bertanggungjawab atas penegakan konstitusi dan nilai kebangsaan.
Di sinilah rekonstruksi kebangsaan harus dilakukan secara komprehensif melalui sinergi kultural dan struktural sekaligus. Penyakit yang terlanjur menyerang seluruh organ bangsa ini, baik berupa korupsi maupun politik primordial, tidak harus diselesaikan dengan mengamputasi seluruhnya. Karena kalau itu dilakukan berarti kita bunuh diri. Untuk itu perlu dilakukan detoksifikasi (meminjam istilah pengobatan secara internal) sekaligus rehabilitas bangunan sosial.
Amandemen merupakan bentuk paling sederhana rehabilitasi ranah struktural. Sementara detoksifikasi perlu dilakukan pada ranah kultural sehingga ada sinergi antara sistem yang baik dengan landasan budaya yang baik pula. Dalam paradigma sosial Peter L. Berger, konstitusi memerlukan internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi, sehingga segala bentuk perubahan mampu menjadi pijakan yang menggerakan seluruh tatanan kehidupan berbangsa. Selama berbagai aspek kehidupan bersimpang jalan, maka sepanjang itu pula reformasi mengalami involusi. Jadinya, kita selalu berada dalam historia sekaligus euforia yang tak jelas juntrungnya dan menyebabkan transisi reformasi menjadi tak pasti.*
No comments:
Post a Comment