Opini
SBY dan Wacana Pluralitas
Seputar Indonesia, Rabu 21 Juni 2006
A. Bakir Ihsan
Wacana kebhinnekaan kita mencuat kembali seiring menguatnya uniformitas yang teraktualisasi dalam pelbagai bentuk. Mulai pemaksaan dan tindakan anarkis terhadap kelompok yang berbeda (the others) sampai upaya penguatan perda-perda syariat Islam. Realitas tersebut mendapat respon beragam. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengupasnya masalah tersebut secara khusus dalam beberapa kesempatan.
Paling tidak pada tiga kali kesempatan yang berdekatan, SBY menyinggung tentang pentingnya penghargaan terhadap pluralitas dan kebhinnekaan bangsa. Di depan Kongres I Partai Indonesia Baru (27/5) SBY menyebut pluralisme sebagai konsensus kebangsaan yang tak mungkin diingkari, apalagi direpresi. Sementara pada acara penutupan syukuran 80 tahun Pondok Modern Darussalam Gontor, di Mantingan, Kab. Ponorogo (28/5) SBY menyampaikan tentang pentingnya prinsip berdiri di atas semua golongan. Substansi yang sama—tentang pluralitas—disinggungnya kembali pada acara peringatan hari lahir Pancasila 1 Mei 2006 di JCC Jakarta.
Pernayataan SBY tersebut menarik dicermati di tengah menguatnya konflik dan tindak kekerasan baik secara kultural maupun struktual. Terjadinya tindak kekerasan tersebut merupakan bukti rapuhnya kebhinnekaan bangsa yang sejak dulu dikumandangkan. Lebih jauh, fenomena kekerasan ini akan mengancam pluralitas dan kebhinnekaan yang menjadi khas sebuah negara bangsa (nation-state).
Perusakan dan ancaman merupakan bentuk eksesif dari pemahaman dan pandangan yang monolitik dan eksklusif. Yaitu sebuah pemahaman yang meyakini adanya monopoli kebenaran sehingga menutup ruang kebenaran bagi yang lain (the others). Secara faktual fenomena eksklusivitas dan monopoli kebenaran ini mendapat tempat subur di kalangan umat beragama karena klaim kebenaran teologis (atas nama Tuhan) menjadi klaim yang final dan tak bisa diganggu gugat. Itulah sebabnya kecenderungan terjadinya konflik atas nama agama menjadi sangat terbuka di kalangan umat beragama.
Kita patut bersyukur karena para founding father Republik ini berwawasan pluralis dan inklusif sehingga mampu mengubur potensi konflik tersebut. Paling tidak dalam sekian waktu lamanya potensi-potensi konflik atas nama agama tidak teraktualisasi secara eksesif. Persoalannya justru muncul di tengah reformasi dirayakan. Potensi-potensi konflik tersebut menguat kembali. Sekelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama dan keyakinannya mengadili kelompok lainnya dengan cara-cara anarkis. Apabila fenomena tersebut dibiarkan, tidak mustahil akan mengancam integrasi sosial yang sudah sekian lama kita pupuk bersama.
Atas dasar inilah, maka wacana pluralitas yang dilontarkan oleh Presiden SBY menjadi sangat signifikan. Paling tidak, dengan posisi SBY sebagai orang nomor satu di republik ini, wacana tersebut memiliki kekuatan politik yang strategis bagi tumbuh suburnya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan sehingga dapat meminimalisir tindakan anarki.
Citra Agama, Citra Negara
Pada dasarnya negara tidak punya otoritas untuk mencampuri atau mengintervensi urusan agama, karena negara tidak berdasarkan pada agama. Namun secara sosial negara berkewajiban untuk menata kehidupan umat beragama demi keharmonisan tata sosial yang plural dan heterogen. Lebih dari itu, secara konstitusional negara mewajibkan warganya untuk memeluk satu dari agama-agama yang diakui eksistensi di negeri ini, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Kenyataan ini dengan sendirinya memaksa negara untuk terlibat dalam menata aktualisasi ajaran agama.
Dalam konteks kehidupan negara bangsa (nation state) terdapat stratifikasi peran antara agama dan negara. Ada wilayah yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab umat beragama, ada wilayah yang menjadi otoritas negara. Dalam hal penafsiran dan pemahaman terhadap ajaran agama sepenuhnya menjadi wilayah privat, yaitu wilayah umat beragama yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara. Dalam konteks ini negara hanya berperan sebagai mediasi agar pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama tersebut tidak menimbulkan ekses-ekses yang mengganggu ruang publik.
Di sinilah kerjasama antara tokoh (umat) agama dan pemerintah (negara) menjadi sangat penting. Negara berperan sebagai penata kehidupan nasional yang harmonis di atas pluralitas agama-agama yang ada, sementara tokoh agama berperan sebagai pewarta ajaran yang bijak, konstruktif, dan sinergis sehingga misi agama sebagai pencipta perdamaian betul-betul terasa bagi kehidupan bernegara. Dalam kondisi demikian, negara dan agama merupakan dua otoritas yang harus disinergikan demi kepentingan citra keduanya. Dengan kata lain, citra positif agama, melalui perilaku umat beragama yang toleran dan bijak, akan ikut menentukan terhadap citra positif negara, begitu juga sebaliknya.
Dimensi Spiritual dan Sosial
Indonesia sebagai negara yang mewajibkan penduduknya menganut salah satu agama seharusnya dapat menjadi modal transformatif bagi negara baik pada tataran spiritual maupun sosial. Dimensi spiritual yang terkandung dalam agama seharusnya mampu mentransendensikan beragam kepentingan dan perbedaan yang ada dalam masyarakat menuju kesamaan tujuan. Sementara dimensi sosial dapat menjadi kekuatan transformatif dan profetis bagi kontekstualisasi “ajaran langit” di bumi yang plural ini. Konsepsi ini seharusnya menjadi modal kuat bagi negara untuk menjadikan Indonesia sebagai miniatur surgawi atau bayangan surga di bumi melalui sikap keberagamaan yang moderat.
Secara sosio-politik kita telah memiliki modal ke arah tersebut yang sedikit banyak telah memberikan citra positif bagi negara. Modal tersebut adalah terselenggaranya prosesi demokrasi secara langsung dan damai. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa pluralitas kepentingan tidak menjadi penghalang bagi berseminya kebersamaan. Citra positif ini jangan sampai tercemar oleh intoleransi sebagian kelompok masyarakat di tengah pilar demokrasi sedang ditegakkan. Oleh karena itu, negara harus mampu mengelola keragaman tanpa harus menyeragamkan. Keragaman dan pluralitas harus disinergikan sehingga membawa manfaat bagi negara. Dari sini sinergi keberagamaan akan membawa dampak berupa citra positif negara di mata dunia internasional.
Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan rekonstruksi paradigmatik baik dalam konteks relasi sosial maupun relasi agama dan negara.
Pertama, rekonstruksi paradigmatik keagamaan dari kebenaran monopolisitik menuju kebenaran relatif. Dengan paradigma ini toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama dan perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dapat terwujud. Hal ini sekaligus akan menghancurkan stigmatisasi kami (minna) dan mereka (minkum).
Kedua, rekonstruksi metodologis penyebaran ajaran agama. Selama ini ada kecenderungan agama berlomba untuk mengumpulkan umat sebanyak mungkin. Orientasi semacam ini dapat mengancam terhadap peningkatan kualitas (internal) umat. Lebih dari itu, orientasi tersebut dapat memicu terjadinya benturan antara umat beragama.
Ketiga, keteladanan tokoh agama. Munculnya kelompok-kelompok sempalan disebabkan oleh krisis keteladanan di dalam agama, sehingga mereka mencari atau membentuk kaukus alternatif yang dalam batas ekstrem mengkristal menjadi sebuah kepercayaan atau agama baru.
Agenda-agenda tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Interaksi sosial baik dalam lingkup nasional maupun global tetap berpijak pada otoritas negara. Oleh sebab itu, Presiden SBY dengan paradigma pluralitasnya dapat menjadi mediator bagi tegaknya toleransi beragama dengan mengambil sikap tegas terhadap segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mencederai kebhinnekaan kita.
Kalau sejak awal Presiden SBY menyatakan perang melawan korupsi dan terorisme, maka kini Presiden SBY perlu menabuh genderang perang melawan intoleransi yang memicu sikap anarki. Melawan intoleransi dan anarki tidak perlu dengan kekerasan karena akan melahirkan kekerasan yang baru. Salah satu langkah yang cukup penting adalah menegakkan rambu-rambu kebangsaan yang plural dan heterogen melalui aturan main yang sudah baku.
Sembari penegakan hukum dilakukan, perlu ditumbuhsuburkan toleransi di tengah reformasi yang mengagungkan liberasi dan moderasi. Liberasi dan moderasi tidak akan pernah lahir selama intoleransi dan anarki menjadi panglima yang menghegemoni kesadaran masyarakat. Rekonstruksi dan transformasi kesadaran masyarakat menjadi penting karena variabel penentu eksistensi sebuah negara, sebagaimana disinyalir Antonio Gramsci, adalah masyarakat itu sendiri.
Dengan langkah-langkah tersebut, kita berharap kedamaian dapat hadir di atas realitas pluralitas sosial. Kalau tidak, konflik dan tindak kekerasan akan berjalin berkelindan bersama romantisme kebhinnekaan yang selama ini kita dengungkan. Masih adakah ruang aktualisasi pluralitas dan kebhinnekaan kita di tengah demokrasi mendekati kematangannya? Sejarahlah yang akan membuktikan.*
No comments:
Post a Comment