Opini
Presiden dan Islamofobia
Republika, Sabtu 24 Juni 2006
A. Bakir Ihsan
Dalam pembukaan Konferensi Internasional Cendekiawan Muslim atau International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyorot fenomena Islamophobia sebagai agenda penting (an emerging issue) yang mendesak diselesaikan oleh umat Islam. Harapan ini berangkat dari asumsi bahwa ada problem mendasar pada tataran praktik keagamaan di kalangan umat Islam, sehingga melahirkan ketakutan-ketakutan di kalangan pihak lain. Paradigma ini lazim digunakan oleh kaum modernis (kultural) yang melihat akar persoalan pada aspek internal; budaya, nilai-nilai, dan sudut pandang individu atau kelompok sosial.
Paradigma kultural ini menjadi sangat strategis di tengah hegemoni kebenaran yang dipertontonkan oleh beberapa pemilik otoritas baik atas nama negara, agama maupun lainnya. Hegemoni kebenaran ini teraktualisasi dalam bentuk stigmatisasi antara kami (minna) sebagai pemilik kebenaran dan mereka (minkum) sebagai yang lain (the others) dan salah. Stigmatisasi ini pada akhirnya menawarkan penyelesaian problem sosial melalui penegasian terhadap kelompok di luar dirinya.
Dalam konteks sosial, fenomena tersebut terlihat dalam aktivitas ancam mengancam antara satu kelompok dengan kelompok lainnya atau antara satu negara dengan negara lainnya. Pada akhirnya hegemoni kebenaran ini berobsesi menyeragamkan semua potensi sehingga tidak muncul kelompok di luar dirinya karena dianggapnya sebagai kendala. Setiap perbedaan dianggapnya sebagai ancaman.
Sementara paradigma kultural justru melihat problem pada realitas internal, yaitu pada kualitas dan kemampuan diri. Sehingga penyelesaian problem adalah dengan merekonstruksi diri. Dan inilah paradigma yang dipakai oleh kaum modernis dan pembaru muslim seiring dengan hegemoni Barat saat itu.
Himbauan SBY di atas lebih merefleksikan pemahaman dirinya sebagai bagian dari umat Islam yang punya kepentingan untuk membebaskan Islam dari stigmatisasi akibat ulah umat Islam sendiri. Pola pandang ini sebenarnya bisa mengundang kontroversi apabila dilontarkan oleh orang non-muslim.
Hal tersebut tentu berbeda dengan, misalnya, ketika Sekjen PBB, Kofi Annan membuka seminar tentang Islam di Sekretariat PBB, New York, dua tahun yang lalu (Desember, 2004). Berbeda dengan SBY, Annan justru lebih menyorot persoalan Islamophobia sebagai akibat sudut pandang yang salah dari Barat terhadap Islam. Oleh karenanya, menurut Annan, masyarakat internasional harus meninggalkan Islamophobia dengan memahami Islam yang sesungguhnya. Menurutnya ada kesalahpahaman yang tersebar melalui media massa yang memperkuat Islamophobia tersebut. Relasi Barat dan Islam cenderung dipahami dalam konteks relasi Islam versus Kristen yang berakar pada perang salib. Pemahaman seperti ini, menurut Annan, telah melahirkan warisan kebencian antar peradaban.
Perbedaan sudut pandang kedua tokoh (Presiden SBY dan Kofi Annan) tersebut memperlihatkan problem Islamophobia pada dua aspek, yaitu aspek internal umat Islam yang “suka marah” dan aspek eksternal dunia Barat yang tak ramah.
Meretas Fobia
Fobia sebagai sebuah ekspresi ketakutan bisa lahir dari siapa saja yang merasa terancam. Secara faktual fobia terhadap Islam menguat pasca runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) yang menjadi simbol kedigdayaan Amerika. Secara terminologis istilah fobia menguat pada akhir 1980-an khususnya ketika komunisme termakzulkan dan Islam dianggap sebagai “pendatang” baru yang akan memicu benturan baru.
Di sinilah kompleksitas dan penguatan fobia, baik di kalangan masyarakat Barat maupun muslim, semakin tak terelakkan. Fobia terhadap barat yang telah lama menggumpal semakin mendapat justifikasi melalui provokasi media yang sangat diskriminatif dan agitatif terhadap eksistensi Islam. Peristiwa WTC merupakan aktualisasi dari fobia terhadap Barat. Ekspresi dari fobia ini tentu dengan sendirinya semakin memperkuat Islamophobia yang sesungguhnya sudah ada benih-benihnya di kalangan masyarakat Barat.
Berangkat dari realitas tersebut, maka persoalan fobia tidak bisa diselesaikan secara internal melalui transformasi budaya semata, namun perlu diimbangi oleh rekonstruksi tata nilai global yang kondusif bagi mencairnya fobia tersebut. Langkah ini mengandaikan adanya pendekatan sintesis untuk menyelesaikan kecenderungan disharmoni antara Islam dan Barat yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Karena fobia, sebagaimana disinyalir para pakar psikopatologi, muncul dari proses belajar, baik karena adanya pengalaman traumatis, reaksi atas superioritas kelompok lain, maupun kombinasi keduanya. Oleh sebab itu, penyelesaian masalah fobia ini pun harus dilakukan melalui proses belajar untuk saling memahami.
Aspek terpenting dari proses pembelajaran ini adalah terkuaknya keragaman yang selama ini terdistorsi oleh generalisasi akibat sikap apriori dan hegemoni. Islamophobia muncul akibat generalisasi terhadap Islam sebagai agama yang tradisional, monolitik, radikal, dan arabsentris. Padahal Islam ada di mana-mana dengan corak dan potret yang beragam pula. Begitu juga Barat sering dicurigai dan diidentikkan dengan sikap pemerintah Amerika, Inggris, dan Australia yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok Islam. Padahal sebagian masyarakatnya banyak yang menentang dan menolak kebijakan negaranya yang diskriminatif terhadap negara-negara Islam.
Pilot project
Agenda terpenting untuk meretas menguatnya Islamophobia adalah komitmen untuk memulai. Siapa yang harus memulai? Di sinilah inklusivitas sikap dipertaruhkan. Selama masing-masing menganggap dan menuduh pihak lain sebagai orang yang harus memulai langkah untuk meretas menguatnya fobia, maka sepanjang itu pula fobia tidak akan pernah mencair.
Perlu langkah komprehensif dan simultan dari masing-masing pihak untuk mengakhiri ancaman fobia ini. Harapan Presiden SBY bahwa Islamophobia merupakan agenda umat Islam menunjukkan bahwa secara kultural umat Islam harus bisa memperlihatkan Islam yang damai dan ramah. SBY tentu sangat berkepentingan untuk mewujudkan hal tersebut, karena sebagai kepala negara ia punya tanggung jawab untuk menyemai kedamaian di atas keragaman yang begitu kuat di negeri ini. Lebih dari itu, Indonesia “terlanjur” dicitrakan sebagai negara muslim moderat terbesar yang prospektif bagi proses moderasi Islam di belahan dunia Islam lainnya. Paling tidak hal tersebut terkuak dalam beberapa kunjungan (pertemuan) pemimpin-pemimpin negara sahabat yang berharap akan peran Indonesia.
Sinyal positif atas perkembangan Islam di Indonesia disampaikan langsung oleh beberapa elit negara luar seperti Condoleezza Rice (Menlu AS), Tony Blair (PM Inggris), Prof Dr Jan Peter Balkanende (PM Kerajaan Belanda), dan John Howard (PM Australia). Bahkan ulama kharismatik yang juga ketua majelis fatwa muslim Eropa, Syekh Yusuf Qardhawi saat bertemu SBY di Qatar menyatakan optimismenya bahwa Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia Islam, karena Indonesia berhasil menampilkan wajah Islam yang moderat, baik, dan tidak berlebihan.
Harapan tersebut tentu menjadi agenda penting bagi Indonesia untuk menampakkan Islam yang ramah pada ranah historis. Hal ini penting karena problem keagamaan selalu muncul pada realitas historis, bukan normatif. Aspek normatif agama yang ramah dan penuh damai tidak perlu diragukan lagi.
Menampilkan wajah Islam yang ramah dan damai tidak mesti dengan membungkam apalagi membubarkan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang dianggap berbeda (ekstremis); baik pada sisi yang radikal maupun liberal. Justru di sinilah sinergi keragaman pemahaman keagamaan dipertaruhkan. Islam menjadi terasa hidup justru karena eksistensinya di tengah keragaman pemikiran dan gerakannya.
Namun satu hal yang tidak bisa dilanggar oleh semua kelompok dalam Islam adalah sikap untuk terbuka (inklusif) dan tampil sebagai gerakan paling bermanfaat bagi umat. Apalagi di tengah arus globalisasi yang memicu munculnya gerakan-gerakan sosial berbasis agama. Gerakan-gerakan sosial berbasis agama ini menjadi efektif apabila ia berhasil merangkai perbedaan dalam kesatuan tujuan bukan pada kesamaan simbol yang justru sering manipulatif dan distortif. Sembari gerakan sosial berbasis agama berjalan, perlu terus diupayakan ruang dialog yang sehat, rasional, interpersonal, dan terbuka oleh semua pemegang otoritas sehingga masing-masing terhindar dari lingkaran stigmatisasi yang tak jarang berbuah anarki. Langkah ini menjadi penting, karena Islamophobia bukan hanya lahir karena pemahaman (internal) agama yang eksklusif, tapi juga karena pemahaman yang distorsif dan simplistis kelompok lain (eksternal) terhadap Islam.*
No comments:
Post a Comment