Opini
Rapor SBY di Tengah Bencana
Investor Daily, Sabtu 10 Juni 2006
A. Bakir Ihsan
Di saat negara dikepung beragam bencana, muncul pertanyaan dalam benak kita; apa yang salah dari negeri ini? Pelbagai analisa pun bermunculan menurut perspektifnya masing-masing. Mulai dari perspektif politik sampai antropologis, dari analisa empirik-rasional sampai analisa supranatural.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah lembaga survei merelease hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa negara ini sedang mengalami penurunan kinerjanya, khususnya dalam bidang ekonomi. Bahkan dalam tataran demokrasi yang tercermin dalam pelaksanaan Pilkada pun menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda. Terbukti, sebagaimana hasil pengamatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) menunjukkan bahwa legitimasi hasil Pilkada masih rendah, sehingga ancaman instabilitas politik yang berujung pada konflik dan tindakan anarkis sangat terbuka lebar. (Investor Daily, 8/6). Kemudian apa korelasi antara bencana dengan kinerja negara yang cenderung menurun?
Memang tidak ada korelasi faktual antara bencana alam dengan kinerja negara, apalagi dengan demokrasi. Namun munculnya bencana telah memaksa negara untuk membagi perhatian dan anggarannya bagi rehabilitasi korban bencana. Hal ini berdampak pula pada terhambatnya penyelesaian problem sosial lainnya. Ini pula yang memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan.
Tingkat ekspektasi yang begitu tinggi terhadap SBY pada awal pemerintahannya (79,7%) harus mengalami penurunan yang cukup signifikan akibat faktor-faktor “tak terpikirkan” seperti bencana dan sebagainya. Termasuk faktor-faktor tak terpikirkan (invisible hands) adalah intrik-intrik politik yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan nasional. Kenyataan ini telah memecah upaya negara dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan agenda-agenda penyelesaian krisis multidimensi. Mau tidak mau hal tersebut ikut mempengaruhi citra SBY.
Pencitraan terhadap kinerja SBY tentu tidak hanya karena hasil survei, tapi juga cara media massa memotret, memoles, dan mengemas hasil survei tersebut untuk disajikan pada pembacanya. Ketika media massa hanya memotret satu sisi (one side) gelap dari hasil survei, maka citra negatif pun akan mencuat dan secara politik dapat merugikan SBY. Padahal ada sisi positif yang juga penting diungkap agar menjadi modal bagi peningkatan kinerja SBY, paling tidak untuk mengimbangi sisi negatifnya.
Dalam kasus survei terhadap kinerja Presiden SBY yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (PT LSI) misalnya, walaupun menunjukkan penurunan kinerja ekonomi SBY, namun survei tersebut juga memperlihatkan bahwa lima bidang lainnya, yaitu politik, sosial, keamanan, hukum dan hubungan internasional menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan. Bahkan secara personal SBY dianggap sebagai sosok lebih baik (14.5%) dalam menyelesaikan masalah pengangguran dan pemberian lapangan kerja dibandingkan Megawati (7.0%), Abdurrahman Wahid (1.4%), dan BJ Habibie (3.6%). Sisi positif lain dari SBY, menurut hasil survei tersebut, adalah dalam hal penanganan masalah korupsi dan penyelesaian konflik di Aceh. Dalam hal ini Presiden SBY adalah yang terbaik (59.8% & 56.6%) dibandingkan empat presiden lainnya (Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati).
Sayangnya sisi-sisi positif dari kinerja SBY tidak disajikan secara seimbang (cover both side), sehingga pembacaan terhadap hasil survei pun tidak balance (one side) dan distorsif. Padahal media massa, sebagaimana tesis David M. Ryfe, Associate Professor of Journalism di Middle Tennessee State University, merupakan alat yang sangat menentukan tinggi rendahnya pencitraan publik terhadap institusi atau otoritas politik. Media tidak hanya menjadi government watch, tapi memiliki hegemoni pencitraan yang luar biasa.
Evaluasi Reformasi
Evaluasi terhadap kinerja pemerintahan menjadi sangat penting karena akan menjadi titik tolak untuk menemukan solusi bagi problem kebangsaan. Terlepas dari efek pencitraan terhadap pemerintah, evaluasi dapat menjadi pijakan dalam merespon persoalan yang dihadapi masyarakat secara cepat dan tepat. Termasuk langkah-langkah strategis bagi penanggulangan bencana. Kalaupun harapan yang begitu besar yang dipertaruhkan terhadap SBY tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang dirasakan, seharusnya memicu seluruh aparatur negara untuk semakin serius mendekatkan harapan dengan kenyataan.
Begitu pun sebaliknya. Banyaknya peristiwa yang membebani kinerja pemerintah di luar agenda dan kalkulasi kebijakannya, harus mendorong masyarakat untuk ikut terlibat secara intensif dalam meminimalisir hambatan-hambatan tersebut. Bencana alam mengajarkan pada kita bahwa kerja individual tak akan mampu mengimbangi kehancuran massal. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kinierja SBY harus dijadikan media bersama untuk mencari solusi, bukan untuk saling mencurigai apalagi mencaci maki sesama anak bangsa.
Kalau dilihat secara umum ada dua tantangan yang lahir di luar kalkulasi politik SBY yang ikut membebani percepatan perwujudan agenda-agenda reformasi. Pertama, adanya warisan pemerintahan sebelumnya baik berupa kebijakan yang tidak kondusif (kontraproduktif) seperti UU Ketenagakerjaan maupun agenda reformasi yang tak tersentuh, seperti pemberantasan korupsi yang terlanjur berurat akar.
Kedua, adanya peristiwa-peristiwa alam yang tingkat akumulatifnya cukup tinggi dibandingkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Mulai bencana tsunami di Aceh, tanah longsor, banjir, penyakit flu burung, gempa bumi, letusan gunung merapi yang memaksa pemerintah untuk menyisihkan perhatiannya secara ekstra bagi penanganan masalah tersebut.
Dalam kondisi demikian, langkah yang diperlukan Presiden SBY bukan bagaimana mengembalikan citra seperti pada awal berkuasa, tapi bagaimana mengambil langkah penting dan strategis sehingga dapat memperkecil jarak antara ekspektasi masyarakat pada awal kepemimpinan SBY yang begitu tinggi dengan kenyataan yang dirasakan masyarakat saat ini. Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan pelbagai problem yang dihadapi negara yang menyebabkan terhambatnya agenda-agenda perbaikan bidang ekonomi dan optimalisasi agenda lainnya.
Sinergi untuk Ekonomi
Problem krusial yang dihadapi SBY adalah masalah ekonomi. Kalau pun secara makro, ekonomi nasional mengalami perbaikan dan peningkatan, namun hal tersebut dianggap “fatamorgana” karena tak berdampak langsung pada masyarakat bawah. Sementara ekspektasi yang cukup besar terhadap peran SBY justru ada di level bawah, sehingga ketika kebijakan atau keberhasilan tidak dirasakan oleh level mayoritas tersebut, maka keberhasilan dianggap angin lalu.
Masyarakat hanya melihat dan mempersepsi terhadap apa yang dirasakan, bukan pada sesuatu yang diasumsikan. Selama ini dengan pertumbuhan ekonomi nasional diyakini dapat terjadi trickle down effect. Namun keyakinan tersebut harus runtuh seiring dengan perputaran ekonomi yang tak kunjung merembes ke bawah, namun ke samping atau lingkungan sekitar.
Terjadinya bencana seperti gempa yang melanda Yogyakarta dengan sendirinya semakin menambah beban tidak hanya pada pemerintah, tapi juga pada masyarakat. Hancurnya sentra-sentra ekonomi dan tempat usaha semakin memperpanjang antrean jumlah pengangguran dan bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Dalam kondisi demikian, di samping terus mengupayakan perbaikan ekonomi dan keterpurukan akibat bencana, pemerintah dapat memaksimalkan aspek lainnya yang cukup qualified, seperti politik (partisipasi), kepastian hukum, terjaminnya keamanan, dan jaringan internasional untuk memperkuat titik pijak bagi perbaikan ekonomi. Karena logika pasar ekonomi mengandaikan adanya relasi yang intens dengan bidang lainnya. Pasar tidak hanya mengedepankan liberasi, tapi juga moderasi, relasi, security, dan konstitusi.
Rapor SBY yang tercermin dari hasil survei dan pelbagai analisa di atas merupakan bagian dari potret perjalanan reformasi. Kesempurnaan potret reformasi tidak tergantung pada SBY semata, tapi pada komitmen kita semua dan para elit politik negeri ini untuk bersama-sama mewujudkan reformasi bagi kepentingan bangsa apalagi di tengah bencana yang tiada henti. Tanpa kerjasama, apalagi hanya menggantungkan pada seorang SBY, laju reformasi hanya mimpi. Dan ia akan semakin memperpanjang daftar bencana di negeri ini.*
No comments:
Post a Comment