Opini
Kontroversi
Konvensi dan Jokowi
SUARA PEMBARUAN, Selasa, 24 September 2013
A Bakir Ihsan
Konvensi dan
Jokowi adalah sebuah kontroversi. Paling tidak itulah mainstream wacana
yang berkembang di media massa belakangan ini. Wacana ini akan terus bergulir
mendekati masa kontestasi 2014. Konvensi yang sedang digelar oleh Partai
Demokrat dipertanyakan terkait aturan main yang belum benderang. Bahkan
beberapa pihak menyebutnya sebagai konvensi-konvensian. Pun Jokowi yang menurut
beberapa survei menempati posisi tertinggi sebagai kandidat Capres, digugat
karena amanah yang diembannya untuk Jakarta baru seumur jagung.
Kontroversi
yang mengitari kedua isu tersebut menunjukkan apresiasi sekaligus koreksi atas
dua problem besar kepartaian kita. Pertama, problem mekanisme
kepartaian. Konvensi hadir, sejatinya, sebagai ikhtiar mengurai prosedur kepartaian,
khususnya dalam rekrutmen kepemimpinan agar lebih terbuka dan melibatkan banyak
partisipasi. Kedua, krisis kepemimpinan. Mencuatnya sosok Jokowi menunjukkan
krisis calon pemimpin. Jokowi menjadi pemecah di tengah kebuntuan regenerasi
kepemimpinan. Dari beberapa kandidat Capres yang beredar di media, wajah-wajah
lama masih mendominasi.
Sayangnya kedua
isu tersebut dilihat sekadar agenda partai tertentu. Wacana yang berkembang
cenderung menyempit pada kepentingan dua partai; Jokowi pada PDIP dan konvensi
pada Partai Demokrat. Akibatnya wacana yang berkembang kehilangan makna bagi
kepentingan rekonstruksi problem kepartaian ke depan.
Alienasi meritokrasi
Kecenderungan
umum keberadaan partai politik di era reformasi adalah ketergantungannya pada
sosok. Partai muncul dan bertahan karena sosok pemimpinnya dengan segala status
dan modalnya. Munculnya sosok Jokowi merupakan fenomena di luar mainstream
kepartaian. Walaupun dia berasal dari partai (PDIP), namun kemunculannya lebih
sebagai sosok personal. Ia lahir di tengah involusi kaderisasi partai. Wajar
bila kemunculannya melampaui popularitas partai, termasuk partai yang
menaunginya.
Fenomena Jokowi,
dan sosok-sosok lain di luar mainstream kepartaian, muncul sebagai
konsekuensi logis dari dua faktor. Pertama, secara internal, sirkulasi
kepemimpinan di tubuh partai politik didasarkan pada sistem oligarki dan
dukungan materi. Tak berlebihan bila sosiolog politik sekaliber Robert Michels
(1984) menyebut organisasi (partai) sebagai sisi lain dari oligarki. Akibatnya
ruang kaderisasi berdasarkan meritokrasi teralienasi. Dan sosok pun lahir di
luar “kehendak” partai.
Kedua,
secara eksternal, popularitas lebih menjadi pertimbangan daripada identitas (ideologis)
kader. Partai berebut belanja komoditas (calon) di pasar bebas daripada
memproduksi dan atau memasarkan calonnya sendiri dengan kaptif pasar yang jelas.
Sosok terpilih tak lebih sebagai komoditas yang digandrungi pasar pemilih. Pilihan
ini secara perlahan semakin menenggelamkan partai, karena kemenangan sosok
tidak serta merta menaikkan elektabilitas partai. Terbukti, sosok yang diusung
oleh partai tertentu pada satu periode, bisa menang kembali pada periode
berikutnya walaupun diusung oleh partai lain, seperti yang terjadi di Bali, NTB,
dan sebagainya. Di tengah menurunnya popularitas partai, maka popularitas sosok
menjadi pilihan.
Structural & Attitudinal
Ketergantungan
partai politik pada sosok berakibat pada tersendatnya pelembagaan partai.
Perpindahan anggota partai ke partai lain dan menurunnnya kepercayaan
masyarakat terhadap partai menunjukkan lemahnya pelembagaan partai (party-institutionalization).
Partai politik tak lebih sebagai paguyuban tempat mencari posisi khususnya menjelang
kontestasi.
Minimnya
pelembagaan partai politik dengan sendirinya mendegradasi kinerja partai di
mata rakyat dengan segala konsekuensinya, termasuk tergerusnya kepercayaan
masyarakat terhadap politisi. Seperti release jajak pendapat “Kompas”,
(16/9/13), 86 persen responden tak yakin elite politik konsisten melaksanakan
janjinya. Dalam demokrasi, krisis kepercayaan ini merupakan ancaman serius bagi
kelanjutan konsolidasi.
Karena itu, meminjam
perspektif Vicky Randall dan Lars Svasand (2002), konvensi bisa dilihat dalam
dua perspektif. Pertama, perspektif structural. Yaitu sebagai
ikhtiar untuk merekonstruksi mekanisme partai yang lebih terbuka dan
transparan. Dalam hal ini diperlukan kepastian konvensi sebagai ajang rekrutmen
yang diatur secara formal dan berlangsung secara berkesinambungan. Di sinilah
aspek kelembagaan partai menjadi penting.
Kedua, perspektif
attitudinal. Yaitu sebagai momentum untuk meraih sekaligus merangkul
kehendak rakyat terkait pemimpin yang diinginkan. Konvensi menjadi salah satu instrumen
partai untuk mempertarungkan kualitas sekaligus popularitas calon pemimpin. Pada
titik ini aspek sikap dan perilaku kader (sosok) diperlukan.
Inklusi politik
Kontroversi
konvensi dan Jokowi harus dimaknai dalam konteks yang lebih konstruktif dan
inklusif, sehingga politik tak sekadar saling negasi dan diskriminasi. Ruang
politik kita memerlukan sinergi dalam jalinan interaksi yang lebih lapang. Bukan
menyesakkannya untuk kepentingan sesaat dan sempit.
Substansi
kontroversi konvensi dan Jokowi sama. Ia merepresentasikan krisis kerja partai.
Karena itu, keterbukaan partai secara internal (mekanisme stuktural) dan
penyertaan (inklusi) politik secara eksternal (pelibatan sosial) menjadi kunci penguatan
partai politik, khususnya dalam hal seleksi kepemimpin. Penguatan yang akan meleburkan
oligarki dan mencairkan dominasi kaum elit dan berduit sebagai sisi gelap
reformasi.
Dalam jangka
panjang, inklusi politik bukan hanya untuk kepentingan partai. Inklusi politik
akan memperkuat soliditas anak bangsa yang dalam beberapa kasus masih dihantui
oleh diskriminasi dan negasi sebagai ekses dari eksklusi politik (political
exclusion) para elite.
No comments:
Post a Comment