Opini
BDF dan Ajal Perdamaian di Era Warm
Peace
SUARA
PEMBARUAN, Kamis, 8 November 2012
A
Bakir Ihsan
Perhelatan Bali
Democracy Forum (BDF) 8-9 November 2012 kali ini menjadi catatan menarik di
tengah arus demokrasi yang tak terbendung di satu sisi, dan kecenderungan konflik
dalam beragam bentuknya yang bergulir berbarengan di sisi yang lain. Baik
demokrasi yang sedang bertiup di Timur Tengah maupun demokrasi yang sedang kita
jalankan, selalu menyisakan konflik di dalamnya. Bahkan pada titik tertentu
konflik mengarah pada instabilitas politik yang menghambat arah konsolidasi
demokrasi. Karena itu, menjadi sangat relevan bila salah satu tema diskusi dalam
BDF kali ini menyinggung masalah keamanan dan perdamaian dalam demokrasi. Masalah
perdamaian dalam demokrasi menjadi agenda penting di tengah superioritas dan
ketimpangan relasi baik pada ranah negara maupun dunia.
Dalam Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), 25/9 lalu, Presiden SBY menekankan pentingnya perdamaian
dan penataan konflik global. “How we can find better ways to peacefully
resolve or manage conlicts around the the world.” Kemajuan berbagai bidang
kehidupan saat ini, menurut SBY, tidak berbanding lurus dengan perdamaian.
Antagonisme dan kekerasan masih terjadi. Bahkan, menurut Presiden, dalam
beberapa hal, watak perang dingin masih mewarnai perdebatan-perdebatan dalam
forum internasional, termasuk di dalam tubuh PBB sendiri. “the remnants of
Cold War mentality still persist in parts of the geopolitical landscape, not
least our own United Nations.”
Kalau ditarik pada konteks demokrasi,
pernyataan Presiden SBY tersebut memotret adanya paradoksalitas antara semangat
berdemokrasi (kebebasan) di satu sisi dan kecenderungan diskriminasi di sisi
lain. Dunia masih terancam oleh beragam
konflik kawasan di tengah era yang, Presiden SBY sebut sebagai, “warm peace.”
Yaitu sebuah era yang belum sepenuhnya bisa memastikan perdamaian pasca berakhirnya
perang dingin (cold war). Kekerasan antar negara, intern negara, maupun
pada ranah sosial terjadi dalam beragam bentuknya baik secara kultural maupun
struktural.
Kesenjangan
Persepsi
Kekerasan tentu
bukan cacat bawaan demokrasi. Dalam sistem apapun konflik selalu ada, bahkan
pada titik tertentu mengancam terhadap integrasi politik sebuah negara,
terlebih di era warm peace saat
ini. Kita bisa menyaksikan beberapa konflik dan kekerasan dengan beragam
faktornya. Intervensi satu negara kepada negara lainnya, seperti di Afghanistan
dan Irak, “perang” antara pemerintah dan rakyat, seperti di Suriah, penindasan
oleh negara terhadap rakyatnya seperti di Myanmar, konflik Israel-Palestina, ketegangan
di Semenanjung Korea, konflik laut China Selatan, dan ketegangan Suriah-Turki adalah
potensi yang bisa membalikkan langkah perdamaian menuju kekerasan global. Belum
lagi, kekerasan antar masyarakat (horisontal) akibat beragam kesenjangan baik dalam
aspek ekonomi, politik, maupun budaya.
Komitmen Presiden SBY dalam hal
perdamaian merupakan komitmen ideal yang berhadapan dengan kesenjangan persepsi
tentang perdamaian. Kehendak dan mimpi mulia tentang perdamaian berjarak dengan
perdamaian itu sendiri. Atau meminjam istilah Kishore Mahbubani (2008) dengan mengutip
Pratap Bhanu Mehta, sebagai open society with
closed minds. Masyarakat secara budaya, ekonomi, politik,
terbuka seiring arus globalisasi, namun pemikiran mereka masih bertahan dengan
egosentrisme dan paternalismenya.
Akibatnya, keterbukaan masyarakat yang
tidak dibarengi keterbukaan pemikiran dan sikap, menyebabkan suburnya konflik
dan kekerasan. Melalui akses internet (teknologi informasi) orang bisa menonton
film, membaca dokumen, menafsirkan kenyataan atau pernyataan yang justru
membangkitkan kemarahan dan aksi anarkis karena sentimen agama, kelompok, maupun
golongan. Melalui media sosial, orang menjadi pemarah karena penafsiran
eksklusif terhadap fakta yang didapatnya.
Peran media yang membuat manusia terbuka
(inklusif) dalam informasi adalah tahapan untuk menciptakan manusia dalam satu
rasa untuk berdamai. Namun kemampuan masyarakat dalam membaca, menelaah, dan
memahami teks dan informasi yang masih tertutup (eksklusif) menjadi kendala
tersendiri yang bisa membalikkan arah perdamaian. Inilah warm peace
sebagai tahapan pasca cold war (perang dingin) yang seharusnya bisa memperkuat
perdamaian, tapi bisa juga berbalik mempercepat ajal perdamaian.
Persekutuan
damai
Problem pembacaan masyarakat, termasuk
pemerintah bahkan negara, dalam upaya menciptakan perdamaian merupakan agenda
yang mendesak diselesaikan. Terjadinya kekerasan pada level sosial menunjukkan
adanya problem kultural dan struktural. Egosentrisme dan paternalisme menjadi
basis potensi konflik. Begitu juga pada level negara. Kekerasan yang melibatkan
negara mengindikasikan kegagalan negara menerjemahkan dirinya sebagai jalan
damai di antara keragaman sosial. Demokrasi sejatinya bisa mengurai silang
sengkarut konflik melalui kebebasan untuk memperat simpul titik temu.
Tantangan inilah yang dihadapi oleh berbagai
negara dalam mendorong perdamaian, terlebih di era warm peace ini. Karena
itu, diperlukan beberapa pijakan kuat dalam mendorong perdamaian global dengan
tetap mendorong proses konsolidasi demokrasi. Pertama, pada level global,
yang terepresentasi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perlu penguatan
serius untuk menciptakan kesetaraan (equality). Paling tidak, kesetaraan
relasi antar negara harus tercipta dalam bentuknya yang paling sederhana,
seperti dalam dialog dan perdebatan yang saling menghargai. Seperti disampaikan
Presiden SBY di depan sidang umum PBB, suasana superioritas negara-negara
tertentu masih mewarnai dalam sidang-sidang PBB, karenanya harus segera diakhiri.
Dengan equalitas, masing-masing negara punya hak yang sama untuk bersama-sama
menciptakan perdamaian.
Kedua, pada level negara, seiring
demokratisasi dan otonomi daerah, maka masing-masing lembaga harus
memaksimalkan fungsinya untuk meminimalisasi antagonisme kelembagaan yang
memancing kekerasan dalam masyarakat. Lembaga-lembaga negara, baik legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif, harus bersinergi dalam rangka “mendamaikan” beragam
kepentingan di tengah kemajemukan masyarakat. Begitu juga pada level global. United
Nations, sebagai persekutuan untuk bersama mencegah perang dan kekerasan
baik yang bersifat terbuka maupun tersembunyi harus bekerja maksimal untuk
perdamaian dunia sebagai jalan meretas ketegangan antar negara.
Ketiga, persekutuan baik pada level
global (PBB) maupun nasional (negara) bukan jaminan perdamaian. Fakta kekerasan
dalam beragam tingkatan dan bentuknya memperkuat rentannya persekutuan. Karena
itu, dialog yang selama ini dilakukan baik pada level internasional, nasional, maupun
lokal untuk menjembatani beragam kepentingan sekaligus meminimalisasi konflik
harus diikuti kerjasama seluruh stakeholder dalam satu benang merah pada
semua tingkatan.
Keempat, di era
keterbukaan ini, perlu penyamaan persepsi dan pemahaman secara terbuka tentang konflik
dan perdamaian. Dialog mensyaratkan
kesetaraan dan keterbukaan. Karena itu, melalui dialog yang intens,
masing-masing orang atau lembaga bisa duduk bersama, memahami batas-batas “sensitivitas”
sebagai bagian dari fatsun dalam kehidupan sosial, termasuk dalam hal
keagamaan. Dengan demikian, orang atau masyarakat tidak mudah tersinggung, terhasut,
dan terprovokasi di tengah arus demokrasi yang membuka luas ruang ekspresi dan
di tengah arus informasi yang memberi peluang semua orang menyerap beragam
informasi dengan segala kepentingannya. Di sinilah BDF dapat memberi sumbangsih
bagi penurunan tensi warm peace menuju perdamaian sejati. Semoga.*
No comments:
Post a Comment