Opini
PBB,
Perdamaian, dan Agenda Kita
Suara Pembaruan, Selasa, 25 September 2012
A
Bakir Ihsan
Dunia saat ini dalam krisis
multidimensi. Krisis ekonomi membuat sebagian negara yang maju sekalipun terancam,
karenanya mereka berusaha bertahan. Di sisi lain, krisis kemanusian tak juga
beranjak. Konflik dan tindak kekerasan semakin murah. Bahkan nyawa manusia tak
berharga karena masalah yang tidak perlu. Film “The Innocence of Muslims”,
misalnya, hanya bara intoleransi yang membangkitkan intoleransi lainnya dan menyebabkan
puluhan orang mati tanpa arti. Di Pakistan, tidak kurang 15 orang meninggal dan
puluhan lainnya luka-luka akibat aksi massa terkait film itu. (Financial
Times, 22/9/2012).
Sekjen PBB menyebut film itu sebagai
“...that appears to have been deliberately designed to sow bigotry and
bloodshed.” (Ban Ki-moon, 14/9/2012). Atas nama kebebasan, orang abai terhadap “privasi”
orang lain. Atas nama agama, orang “mendakwahkan” kebencian dan kekerasan.
Dalam bahasa yang berbeda, Imam Besar (grand
mufti) Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Lathif Al as-Syeikh, menyebut film tersebut sebagai tindak kejahatan yang keji
dan serangan terhadap diplomat dan kedutaan besar asing sebagai tindakan tidak
Islami. (Antara, 15/9/2012).
Substansi dari pernyataan kedua tokoh
tersebut adalah kekerasan atas nama apapun tak bisa ditolerir dan karenya mendesak
diakhiri. Terlebih di tengah ancaman alam, kemiskinan, dan kematian yang
menuntut perhatian penuh dunia. Namun inilah fakta. Pasca perang dingin,
kekerasan terpecah dalam ragam isu dan antagonisme yang siap meledak setiap saat.
Membangun
Dialog
Jalan terbaik meretas krisis tersebut
adalah menyemai perdamaian. Perdamaian tak sekadar terhapusnya kekerasan, tapi tumbuhnya
kehendak kolektif untuk menata krisis global secara bersama-sama demi
kemanusiaan universal. Masalah ini sebenarnya sudah menjadi agenda laten PBB
dengan dideklarasikannya The International Day of Peace 30 tahun lalu,
tepatnya 21 September 1982. Deklarasi ini dimaksudkan untuk menghapus perang
dan kekerasan yang tak jarang terlegitimasi oleh kepentingan negara. Secara
kuantitas perang berkurang, tapi kekerasan bermetamorfose dalam beragam bentuknya.
Pakar perdamaian, John Galtung (1969) mengklasifikasi
kekerasan dalam tiga bentuk; kekerasan langsung (aktor), kekerasan struktural (structural
violence), dan kekerasan kultural (cultural violence). Kekerasan
yang terjadi belakangan ini merupakan akumulasi dari ketiga bentuk tersebut di
tengah ketimpangan yang melanda dunia. Ketimpangan dan kesenjangan merupakan
salah satu faktor yang mudah menyulut konflik dan kekerasan, terlebih di tengah
transisi dan transformasi global yang belum selesai. Globalisasi yang didukung
oleh perkembangan teknologi informasi menawarkan kegamangan antara keseragaman dengan
keragaman, antara kesamarataan dengan kesenjangan. Inilah fakta yang tidak
jarang memantik sensitivitas yang berujung pada konflik dan kekerasan.
Dalam kondisi tersebut, dialog diyakini
bisa menjadi jalan peretas kegamangan. Bahkan Sekjen PBB, Ban Ki-moon
menganggap dialog sebagai peredam tensi kemarahan, “....and stressed that at
this time of tensions there is a need for “dialogue, mutual respect and
understanding.” Ini pula yang didorong Presiden SBY melalui agenda dialog yang
dibentuknya sebagai bagian dari soft power.
Dalam konteks regional, misalnya, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono bersama Malaysia (PM Abdullah Badawi), membangun jembatan dialog dalam bentuk Eminent Persons Group. Jembatan
ini dimaksudkan agar perselisihan yang mudah mencuat bisa dikelola dengan baik,
sehingga tidak mengganggu persahabatan di antara kedua bangsa. Dalam kaitan konflik masa lalu, bersama Timor Leste, Presiden SBY membangun Commission of Truth and Friendship untuk mengubur dendam
masa lalu dan mengalihkannya pada agenda-agenda konstruktif ke depan bagi kemajuan kedua negara.
Bersama Norwegia, Presiden SBY membentuk
Global Inter-media Dialogue (2006) yang
dimaksudkan untuk mendorong
kebebasan berekspresi, meningkatkan toleransi, dan memajukan perdamaian. Ini
menjadi sangat penting di tengah peran eksesif media dalam menentukan pola
pikir dan pola tindak masyarakat. Reaksi keras terhadap film “The Innocence of
Muslims” tak lepas dari peran media yang memberi ruang tafsir dan ekspresi bebas
bagi seluruh pembaca atau pemirsanya di seluruh pelosok bumi.
Dalam hal keagamaan, bersama kerajaan
Inggris, Indonesia membangun dialog antar pemimpin
Islam, Islamic Leaders dengan tujuan
membangun pemahaman dan persepsi positif tentang Islam baik secara
internal maupun eksternal. Agenda ini juga
tak kalah pentingnya di tengah pemahaman simplistis sebagian masyarakat dunia
terhadap Islam dan pemahaman distortif sebagian umat Islam yang menghalalkan
kekerasan.
“Tekan”
PBB
Langkah-langkah perdamaian melalui dialog yang intens
sejatinya mempermudah terwujudnya jalan harmoni kehidupan global. Terlebih
dengan terpilihnya Indonesia sebagai Ketua Komite 1 Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), pada 9 September 2012, yang bertugas menangani pelucutan
senjata dan keamanan internasional. Ini baru kali kedua bagi Indonesia setelah
pada 1985 dipercayakan kepada Ali Alatas.
Kepercayaan yang diberikan secara aklamasi pada
Indonesia tidak terlepas dari peran Indonesia dalam upayanya mempertahankan
perdamaian dan keamanan internasional. Sebagaimana kita tahu, lebih dari satu
dasawarsa, Indonesia merupakan koordinator kelompok kerja pelucutan senjata gerakan
non-blok. Indonesia berperan penting dalam penandatanganan protokol South-East
Asia Nuclear-Weapon-Free Zone (SEANWFZ) oleh kelima anggota tetap Dewan
Keamanan PBB, yakni Amerika, China, Rusia, Perancis, dan Inggris. Selain itu,
Indonesia telah meratifikasi Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT) dan aktif
menjembatani kepentingan berbagai kelompok yang berbeda pandangan dalam isu
perlucutan senjata dan nonproliferasi. Dalam konteks ini, Indonesia dinilai
oleh banyak pihak sebagai bridge builder dan consensus builder
dan menjadi bagian dari solusi.
Kepercayaan, pengalaman, dan komitmen Indonesia dalam
hal perdamaian sejatinya menjadi senjata efektif untuk “memaksa” PBB lebih
serius memastikan terwujudnya pedamaian dunia. Dan inilah salah satu misi yang
dibawa Presiden SBY dalam sidang ke-67 Majelis Umum PBB kali ini. Bahkan
Presiden mengusulkan kepada PBB dan OKI untuk membentuk protokol internasional
antipenistaan agama sebagai manifestasi dari pasal 29 deklarasi hak asasi
manusia (Declaration of Human Rights).
Upaya dan agenda perdamaian secara massif akan efektif
apabila kekerasan dalam beragam bentuknya, baik struktural maupun kultural,
sebagaimana dikonsepsikan Galtung, global maupun nasional, bisa diselesaikan. Pertama,
kekerasan kultural yang menjelma dalam bentuk ajaran atau nilai yang melegitimasi
diskriminasi dan memicu kekerasan, baik atas nama agama maupun ideologi harus
direvisi. Termasuk dalam konteks kekerasan kultural ini adalah pemahaman yang
menegasikan terhadap yang berbeda. Ini merupakan agenda para tokoh dan elit
untuk bersama warganya menafsir ulang ajaran atau nilai yang terlanjur dipahami
secara distortif, diskriminatif, dan paternalistik. Para elit dan tokoh yang
berhubungan langsung dengan warga atau umatnya harus menjadi gerbang degradasi
diskriminasi dan negasi.
Kedua, kekerasan struktural yang berwujud dominasi negara tertentu
baik secara ekonomi, politik, maupun budaya terhadap negara lainnya harus terus
ditekan sedemikian rupa sehingga memperpendek kesenjangan dan mempersempit
sensitivitas. Dalam konteks nasional, hal tersebut berwujud pada peran negara
untuk meretas kesenjangan dalam berbagai aspek yang terjadi dalam kehidupan
warganya. Karena itu, ketiga, perlu rekonstruksi struktural untuk
menempatkan semua negara atau warga negara secara equal. Yaitu dengan
memberikan ruang dan hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Hanya dengan kesetaraan
(mutual respect), dialog sejati dan kesepahaman, sebagaimana menjadi
agenda Sekjen PBB, bisa terjadi. Dominasi negara tertentu dalam penentuan
kebijakan, seperti hak veto, merupakan wajah lain dari dominasi dan intervensi.
Ini penting direkonstruksi di tengah upaya memperkuat democratic partnership
antar negara secara global. Sekali lagi, Indonesia punya modal besar untuk
semakin meyakinkan PBB bagi terciptanya dunia yang sejajar, damai, dan
demokratis. Semoga.*
http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/index.php
No comments:
Post a Comment