AGENDA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
SUARA PEMBARUAN, Selasa, 17 Juli 2012
A. Bakir Ihsan
Dalam sebulan terakhir ini Presiden
SBY seperti tanpa jeda membangun peluang-peluang bagi kepentingan ekonomi
Indonesia. Kurang sepekan kembali dari rangkaian acara KTT G-20, Rio+20 di
Brazil, dan bilateral di Ekuador, Presiden bertolak ke Australia. Sepulang dari
Australia, di Jakarta sudah menunggu kunjungan dua pemimpin negara penting, Presiden
Republik Ceko Vaclav Klaus dan Kanselir Republik Federal Jerman Angela Merkel. Dengan
dua pemimpin ini kerjasama ekonomi menjadi titik fokus. Tak kalah pentingnya,
Presiden memberikan sambutan pada ASEAN-Latin Business Forum yang merupakan
bagian dari obsesi Presiden SBY untuk memperkuat trans-pasifik antara kawasan
ASEAN dan Amerika Latin. Pada waktu hampir bersamaan, Presiden menerima Direktur
Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Christhine Lagarde, dan Bank dunia.
Pertemuan-pertemuan tersebut menjadi indikator betapa pentingnya Indonesia di
mata dunia, khususnya dalam aspek ekonomi yang semakin menjanjikan di tengah
kelesuan ekonomi global.
Walaupun Fund for Peace
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mendekati gagal (failed
state), namun secara faktual dan finansial, Indonesia justru diperhitungkan
di ranah dunia. Dalam pertemuan dengan para pelaku bisnis (Business 20
Summit/B20) di Los Cabos, Mexico, 17/6 lalu, misalnya, Presiden SBY mendapatkan
sambutan positif dari para pelaku ekonomi global. Bahkan Presiden SBY
menargetkan Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan perekonomian
terbesar dunia. Intinya Presiden mengajak para pelaku bisnis untuk
menanamkan modalnya dan berpartisipasi dalam ikut menumbuhkan perekonomian
Indonesia.
Semua langkah dan citra positif
perekonomian Indonesia di mata internasional merupakan modal penting bagi
prospek ekonomi Indonesia ke depan. Namun yang tak kalah pentingnya adalah
adanya korelasi positif antara pertumbuhan dengan pemerataan. Hal ini penting
ditekankan karena dalam beberapa kesempatan Presiden SBY selalu menyandingkan pertumbuhan
dengan pemerataan (growt with equity). Pertumbuhan dan pemerataan
merupakan sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dalam konteks inilah, kita
bisa mengevaluasi, sejauhmana korelasi gerilya ekonomi yang dilakukan Presiden
SBY dengan pemerataan. Dalam konteks yang lebih luas, sejauhmana optimisme
dunia internasional terhadap perekonomian Indonesia berkorelasi dan mendapatkan
ruang implementatif di lapangan? Inilah agenda yang seharusnya dijawab oleh
para pejabat mulai tingkat pusat sampai daerah. Karena proyek pertumbuhan
ekonomi bukan hanya bicara angka, tapi bagaimana ia mendapatkan lahan subur dan
kuat serta merata bagi seluruh wilayah di pelosok negeri.
Problem bottlenecking
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang cenderung membaik menjadi alasan yang sangat rasional untuk membungkus
citra Indonesia di mata dunia. Dalam laporan triwulan Bank Dunia tentang perekonomian
Indonesia yang direlease pada 12 Juli 2012 menunjukkan Pertumbuhan PDB
Indonesia pada kuartal pertama tahun 2012 masih tetap kuat pada 6,3 persen,
sedikit turun dari rata-rata 6,5 persen di tahun 2011. Konsumsi masih bertahan
kuat pada kwartal pertama 2012, pertumbuhan investasi menurun, sementara ekspor
netto memberikan kontribusi negatif terhadap pertumbuhan.
Namun sebagaimana sering digugat
oleh para ahli, pertumbuhan tersebut tidak serta merta lahir dari kondisi yang
membanggakan pada ranah praktik. Ada problem kebijakan dan implementasinya yang
menjadi duri pertumbuhan. Lemahnya aspek kebijakan, berakibat pada belum
meratanya pertumbuhan. Bahkan pertumbuhan tersebut berjalin kelindan dengan
kesenjangan yang semakin lebar. Persentase Gini Index Indonesia 2011
menunjukkan kenaikan, yaitu 41% dari 38% pada 2010 (Susiyati B Hirawan, 2012).
Di sisi lain, pada aspek
implementasi, kendala-kendala struktural masih menjadi agenda penting. Masalah
pungli yang menyebabkan biaya investasi tinggi sulit dimungkiri dan masih terus
terjadi. Pungli dan biaya tinggi ini tidak saja dialami oleh para pelaku bisnis
asing atau pebisnis skala besar. Pungli-pungli recehan di pasar-pasar, beban
biaya bagi para kreditor kendaraan di kepolisian, “uang terima kasih” yang
ditentukan merupakan matarantai yang menggerogoti kepercayaan sekaligus menjadi
beban bagi pertumbuhan maksimal perekonomian Indonesia. Inilah bagian dari bottlenecking
karena mentalitas pemeras di jajaran pejabat publik yang merusak mekanisme
pasar yang sejati.
Korupsi yang tak juga jera menjadi bagian dari penghambat percepatan
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Kasus suap yang melibatkan pegawai pajak,
secara tidak langsung menjadi kontraproduktif bagi “pemasaran” (marketing) yang
dilakukan Presiden SBY dalam pasar global. Terlebih peringkat indeks persepsi
korupsi kita yang belum bergerak membaik. Sebagaimana dirilis Transparency
International pada akhir tahun 2011 lalu Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index/CPI) Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0 dan berada pada
peringkat 100.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia tersebut,
Indonesia mengalami kenaikan (perbaikan) 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar
2,8. Fakta ini bisa menjadi tantangan sekaligus modal untuk semakin serius
memberantas korupsi. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4) yang
masih lebih baik peringkatnya.
Problem ini tentu tidak mudah diurai seiring pembagian peran dan
otoritas dalam otonomi daerah dan kepentingan politik sektoral yang semakin
kental, terutama menjelang 2014. Ini merupakan problem latin kepemimpinan yang
selalu menyisakan diskoneksitas dalam hal visi dan misi dalam banyak aspek,
termasuk dalam hal strategi ekonomi karena adanya beragam kepentingan politik
yang lebih mengemuka dibandingkan kepentingan bernegara. Apalagi bila hal ini
dikaitkan dengan purna tugas kepemimpinan Presiden SBY yang tinggal 2 tahun.
Sebagaimana diakui Presiden SBY sendiri, tahun 2012 adalah masa pemanasan
kontestasi menuju 2014. Dengan kata lain, agenda kenegaraan akan banyak tersita
oleh agenda politik partai, terlebih di antara anggota kabinet adalah kader,
bahkan ketua partai politik. Secara tidak sadar hal ini bisa menjadi bagian
dari problem bottlenecking akibat ketidakmampuan menteri (pejabat) dalam
menempatkan dan menjalankan fungsi antara tugas negara dan kepentingan partai.
Kesamaan komitmen
Problem-problem yang dihadapi pemerintahan Presiden SBY tentu tak bisa
diselesaikan dengan tangan besi. Apalagi diserahkan hanya pada seorang SBY. Selain
tak ada ruang untuk itu, juga kontrol institusional dan personal begitu kuat
saat ini, bahkan tak jarang menjadi “sandera politik”. Karena itu, yang bisa
dilakukan adalah memperkuat kerjasama dan kesepahaman komitmen baik secara
vertikal, mulai dari daerah, pusat, sampai dunia global, maupun secara
horisontal, mulai dari para pelaku bisnis sampai seluruh stakeholder dari semua
level, termasuk para pekerja.
Di sinilah perlunya komitmen seluruh elemen terkait untuk memastikan
agenda pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan dan dipromosikan Presiden SBY.
Pertumbuhan akan mendapatkan dukungan luas, apabila masing-masing elemen
merasakan dampak baiknya. Yaitu kesejahteraan rakyat dan kenyamanan (keuntungan)
para investor. Kesejahteraan dan keuntungan juga setali tiga uang. Langkah ke
arah tersebut sebenarnya sudah dirumuskan oleh Presiden melalui instruksi
pengetatan pemecatan karyawan karena akan berdampak buruk bagi stabilitas
perekonomian itu sendiri. Di sisi lain, pemerintah menyediakan beragam aturan
untuk menjaga agar beragam industri terus berjalan melalui pinjaman lunak dan
fasilitas lainnya.
Sekali lagi, langkah-langkah tersebut akan efektif apabila problem bottlenecking
di atas bisa diselesaikan secara serius, cepat, dan tepat. Khususnya terkait
korupsi yang bersumber dari mark up pembiayaan pengadaan barang dan jasa
maupun biaya perizinan usaha yang menyebabkan biaya tinggi dan berdampak pada
lemahnya daya beli masyarakat di satu sisi dan lambannya pembangunan
infrastruktur yang menjadi bagian penting dari mobilitas perekonomian
masyarakat.
Secara institusional, sebagaimana dirilis Global Corruption Barrometer,
ada lembaga-lembaga yang selama ini dianggap ikut berperan, paling tidak belum
maksimal ikut memberantas korupsi yang dilakukan oleh para anggotanya, seperti kepolisian,
parlemen, dan pengadilan. Sebagai institusi, problem korupsi yang terjadi di
lembaga tersebut seharusnya menjadi beban kelembagaan untuk mengambil langkah
radikal dalam memberantas korupsi. Bila tidak, maka ia akan terus menjadi duri
yang memperburuk citra Indonesia di mata dunia.
Pada ranah global, ancaman krisis tak bisa dielakkan apabila tidak ada
kesadaran kolektif berbagai negara, khususnya negara-negara maju, untuk
memandang dunia sebagai sebuah kesatuan (unity), dan karenanya perlu
langkah bersama untuk mengatasinya. Secara diplomatik, Indonesia punya posisi
strategis untuk ikut menentukan jalan keluar dari ancaman krisis. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi modal bargaining terhadap dunia internasional. Bila
tidak, maka sekuat apapun langkah pertumbuhan ekonomi yang kita rawat, sedikit
banyak akan terkena dampak krisis yang pada akhirnya akan membalikkan semua
mimpi kita dalam percaturan ekonomi global.
Inilah agenda-agenda penting yang saling terkait antara persoalan
daerah (lokal), nasional, dan global yang memerlukan langkah holistik dan keterlibatan
semua pihak. Dengan demikian, mekanisme pasar ekonomi kita akan bergerak tanpa
menggerus kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya ekonomi kecil dan
menengah, karena semua terlibat dalam tahapan perbaikan atau pertumbuhan
ekonomi. Tinggal bagaimana pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah memastikan
mekanisme tersebut berjalan secara efektif. Paling tidak dari regulasi yang
dikeluarkan, memberi keuntungan bersama, sebagaimana janji Presiden di hadapan
pelaku bisnis dunia. Semoga.*
http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2012/07/17/index.html
1 comment:
Sama-sama, terima kasih, semoga bermanfaat. Salam kenal juga.
Post a Comment