Urgensi Diplomasi Selatan
Seputar Indonesia, Rabu, 4 Juli 2012
A
Bakir Ihsan
Ada
sinergi misi dalam rangkaian kegiatan Presiden SBY di luar negeri, mulai dari
G-20 di Los Cabos, Mexico, KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, dan diplomasi
bilateral di Quito, Ekuador. Upaya memperkuat relasi negara-negara berkembang
(selatan) mendapatkan apresiasi dari beberapa pemimpin dunia, khususnya dari
ketiga negara tersebut. Bukan sekadar karena ketiga negara yang dikunjunginya
memiliki visi politik yang mirip, kalau bukan sama, tapi juga visi yang dibawa
SBY sejak sebelum menginjak ketiga negara tersebut sudah terbaca jelas.
Dalam
beberapa kesempatan Presiden SBY menjelaskan posisi Indonesia di tengah
menguatnya neoliberalisme di satu sisi dan krisis yang melanda negara-negara
maju di sisi lain. Sejak awal Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai “jalan
tengah” di antara ragam dan tarik menarik kepentingan. Indonesia secara tegas menuntut
kepeduliaan dan perhatian negara maju untuk mendukung keberhasilan negara
berkembang. Negara maju tidak bisa hanya meminta negara berkembang melestarikan
lingkungan, tanpa memberi peluang bagi negara berkembang untuk mengeksplorasi
diri mencapai kemajuannya. Sebaliknya, negara berkembang harus berjuang keras
untuk mencapai kemajuannya khususnya mewujudkan green economy dan blue
economy.
Ketika
di Mexico, Presiden SBY memperkuat komitmen dalam bidang financial inclusion
yang memberi ruang eksplorasi bagi usaha kecil dan menengah untuk mengembangkan
perekonomiannya melalui kebijakan yang berpihak.
Di
Brazil, Presiden menekankan pentingnya keadilan global yang ditunjukkan oleh
keseriusan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang memajukan
perekonomian, sembari negara-negara berkembang merawat hutan dan lautnya
sebagai jantung kehidupan.
Sementara
di Ekuador, Presiden mempererat kerjasama dalam bidang investasi di tengah
krisis yang melanda Eropa. Kerjasama antar negara-negara selatan atau
berkembang menjadi momentum untuk membuktikan pada dunia bahwa tak ada lagi
superioritas negara-negara maju (utara) terhadap negara-negara selatan. Sudah
waktunya negara-negara selatan menoleh ke samping dan ke selatan setelah sekian
lama terpesona dengan negara-negara Utara. Utara bukan segalanya, bahkan
sebagian harus bertarung menghidupi dirinya kini.
Ketiga
negara tersebut kebetulan merupakan negara-negara selatan yang memiliki kekuatan
penting di daratan Amerika Latin. Sementara Indonesia sebagai negara terbesar
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling baik di kawasan ASEAN menjadi
kunci untuk membentuk kaukus transpasifik dengan Amerika Latin yang belakangan
menjadi ikon perlawanan berhadapan dengan hegemoni global.
Tak Sekadar Uang
Selama
ini relasi antar negara lebih banyak digerakkan oleh kepentingan ekonomi. Sehingga
yang menjadi fokus dari relasi tersebut adalah memaksimalkan mengambil
keuntungan ekonomis daripada aspek lainnya. Dalam kondisi krisis ekonomi global
saat ini, seharusnya orientasi tersebut bergeser dan direkonstruksi bagi
kepentingan yang lebih besar.
Harus
ada visi global yang menempatkan kepentingan dunia sebagai titik pijak yang
setara. Inilah yang ditekankan oleh Presiden Ekuador, Rafael
Correa Delgado dalam merespon kerjasama bilateral dengan Presiden SBY. Menurut
Correa, walaupun hubungan bisnis dengan Indonesia tidak sebesar dibandingkan
dengan negara lainnya, namun kesamaan visi untuk memperkuat selatan dan
bersuara kritis konstruktif terhadap dominasi dan hegemoni negara maju jauh
lebih penting. Investasi bisnis hanya bagian dari sinergi visi yang bisa
termanifestasikan dalam beragam bentuk. Apalah arti investasi tinggi bila yang
terjadi adalah relasi eksploitatif yang menguntungkan salah satu pihak.
Karena itu, yang mendesak dilakukan untuk
memastikan relasi yang tidak melulu ekonomi adalah membangun kesamaan visi
tentang kehidupan yang lebih baik. Langkah konkret yang seharusnya diwujudkan
adalah mendorong pencapaian target MDGs yang sampai saat ini lebih separuh
negara-negara di dunia masih menunggaknya. Dari delapan target MDGs hampir
semuanya masih jauh panggang dari api. Baik dalam hal pengurangan angka
kemiskinan, penyediaan pendidikan, kesetaraan gender, maupun masalah lingkungan
hidup.
Krisis
yang terjadi saat ini justru karena agenda MDGs itu lebih ditarik pada
kepentingan ekonomi an sich. Krisis lingkungan hidup misalnya terjadi
karena adanya kepentingan untuk mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi
alam. Pendidikan menjadi semakin tak terjangkau karena aspek bisnis lebih
diutamakan daripada substansi pembebasan dari kebodohan. Begitu juga kemiskinan
dan agenda-agenda kemanusiaan lainnya.
Konsekuensinya,
di tengah krisis ekonomi yang sedang berlangsung saat ini, sedikit banyak ikut
memperlambat pencapaian target MDGs pada 2015. Karena itu, target MDGs tak bisa
diharapkan terjawab pada 2015 sebagai batas akhir program tersebut. MDGs harus
terus dilanjutkan dalam bentuk SDGs (Sustainable Development Goals) untuk
memastikan pencapaiannya dengan reorientasi pada aspek substansi yang holistik,
bukan pada ekonomi semata.
Langkah
komprehensif
Salah
satu penekanan menarik yang dilontarkan Presiden SBY dalam Konferensi Rio+20
adalah komprehensivitas dalam upaya menjawab
problem ancaman lingkungan alam melalui blue economy. Konsep ini
sebenarnya pelengkap dari green economy yang lebih menitiktekankan pada
ekosistem darat. Alam tidak bisa dilihat hanya satu aspek (darat), tapi secara
keseluruhan, termasuk ekosistem laut, yang akan menentukan nasib bumi.
Gagasan
ini menarik untuk memastikan langkah komprehensif dalam penyelesaian problem
global yang selama ini fokus pada persoalan tertentu, khususnya aspek ekonomi, dan
lupa pada persoalan lain yang sejatinya memberi andil terhadap kebaikan alam. Karena
itu, evaluasi sinergis harus dilakukan secara holistik baik secara internal
dalam konteks kehidupan nasional maupun secara eksternal dalam konteks relasi
antar negara.
Karena
problem pencapaian target MDGs di setiap daerah dan di masing-masing negara
berbeda-beda, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pertama, memilah
target-target yang belum tercapai. Kedua, mencari faktor-faktor penyebab
kegagalan atau belum tercapainya target tersebut. Ketiga, mencari strategi bersama untuk mengatasi
kegagalan tersebut.
Ketiga
langkah ini menunutut keseriusan pemerintah melalui kebijakan yang berpihak
pada kelompok lemah, minoritas, dan yang terpinggirkan. Dalam konteks
internasional, harus ada kebijakan global yang berpihak pada negara berkembang,
miskin, dan gagal. Inilah evaluasi sinergis baik pada level nasional maupun
global yang akan semakin mempererat hubungan antar negara karena adanya
kepentingan kolektif bagi berdaulatnya hak-hak kemanusiaan dan bumi pada
tingkat global, dan tegaknya kedaulatan nasional berkat kemajuan dalam beragam
aspek yang dicapainya. Inilah yang harus terus diperjuangkan oleh negara-negara
selatan, termasuk Indonesia, untuk mengurangi tensi kepentingan ekonomi an
sich yang tidak jarang berujung pada penumpukan modal besar dan eksploitasi
di satu sisi, namun tanpa basis kesejahteraan sosial dan lingkungan yang
memadai di sisi yang lain.
Bila
langkah komprehensif ini dimaksimalkan, melalui soliditas negara-negara selatan
yang kuat, maka posisi tawar dalam kehidupan global akan berlangsung secara
equal karena berpijak pada kedaulatan (kemajuan) nasional yang kuat. Semoga.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/508125/
No comments:
Post a Comment