Opini
Menuju “Satu Rasa” ASEAN
SUARA PEMBARUAN, Senin, 19
November 2012
A. Bakir Ihsan
Tema besar KTT ASEAN ke-21
yang berlangsung di Phnom Penh, Kamboja (15-20/11/12); one community, one
destiny. Motto ini melengkapi motto ASEAN sendiri; one vision, one
identity, one community. Motto ini tak sekadar rangkaian kata. Ia seperti
api yang terus menggelorakan semangat untuk bersama. Hal ini terlihat dari
perkembangan KTT ASEAN yang, dari waktu ke waktu, mengarah pada upaya
memastikan satu tujuan itu terwujud. Pada KTT ASEAN ke-21 ini, misalnya, diluncurkan Asean Institute for Peace and
Reconciliation (AIPR) dan penandatanganan Phnom Penh Statement tentang HAM. Kedua
agenda tersebut merupakan upaya memperkuat hak-hak dasar kemanusiaan, seperti kebebasan,
dengan tetap berada dalam koridor perdamaian.
Kedua aspek, kebebasan
dan perdamaian, tersebut menjadi sangat penting karena dua alasan. Pertama,
arus demokratisasi yang berbasis pada kebebasan sebagai hak dasar kemanusiaan
terus menggedor setiap tembok otoritarianisme. Demokrasi dengan beragam efek sampingnya
tetap menjadi pilihan mutakhir dalam kehidupan bernegara. Apa yang disebut
dengan musim semi Arab (The Arab spring) dengan segala kegaduhan bahkan
kekerasannya tak menyurutkan langkah negara-negara Arab untuk menerima
demokrasi. Demokrasi dengan kebebasannya seperti dua sisi mata uang yang tak
bisa ditolak.
Kedua, kecenderungan
menguatnya kekerasan di beberapa belahan dunia karena tarik menarik kepentingan
baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Konflik dan tindak
kekerasan menguat ketika masing-masing kelompok atas nama kebebasan bersikap
eksklusif dan mau menang sendiri. Konflik
di Myanmar, kekerasan di Irak, Suriah, dan di Gaza memperlihat egosentrisme di
tengah kebebasan yang dirasakannya. Dalam ketimpangan struktur baik secara
politik, ekonomi, maupun sosial budaya, kelompok minoritas selalu menjadi
korban.
Dalam konteks itulah,
upaya yang dibangun ASEAN untuk menyamakan rasa sebagai satu komunitas menjadi
sangat penting. Beberapa kali kasus konflik yang terjadi di kawasan ASEAN bisa
diredam melalui kerja sama bilateral maupun multilateral sehingga potensi
konflik di kawasan ASEAN tidak meledak sebesar yang terjadi di wilayah lainnya,
seperti di Timur Tengah.
Sinergitas dan Ekualitas
Rancang bangun
perdamaian di kawasan ASEAN bukan hal baru. Dalam beberapa peristiwa, Indonesia
menjadi jalan tengah di antara konflik yang terjadi. Pada 1988, misalnya, Indonesia
berperan dalam penyelesaian perang saudara di Kamboja melalui Jakarta Informal
Meeting I dan II (1989). Bahkan kalau dirunut secara budaya, masing-masing
negara ASEAN memiliki kemiripan bahkan keterkaitan historis yang terlihat dari
simbol-simbol sejarah. Kesamaan budaya ini sejatinya menjadi simbol kearifan
lokal (local wisdom) yang semakin memperkuat kebersamaan dan mempersatukan
ASEAN sebagai sebuah kawasan yang menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan dalam
kultur perdamaian.
Orientasi ASEAN untuk memperkuat
kawasan dari beragam kepentingan luar menjadi sangat penting di tengah hantaman
globalisasi yang pada satu sisi mendobrak sekat-sekat politik kenegaraan, namun
di sisi lain, di dalamnya terkandung kepentingan kelompok-kelompok dominan yang
menentukan hitam putihnya politik global.
Melalui penguatan
politik regional, aspek kepentingan bisa lebih dikanalisasi dan
diimplementasikan dalam konteks yang lebih terarah. Landasan pijak ASEAN harus
direvitalisasi menghadapi globalisasi yang tak mungkin dieliminasi. Globalisasi
tetap menjadi ranah penting ketika didasari oleh kesetaraan (equality)
untuk memastikan kebersamaan pada tingkat global. Namun faktanya, pada ranah
global, kekuatan negara-negara tertentu masih sangat dominan dalam menentukan
kebijakan internasional, sehingga dalam beberapa kasus belum bisa bertindak
secara efektif. Inilah yang belakangan menjadi titik kritik Presiden SBY dalam
berbagai forum internasional, termasuk dalam sidang umum PBB beberapa waktu
lalu (28/9/12) dan diulang kembali pada acara Bali Democracy Forum (8/11/12).
Menurut Presiden SBY, perkembangan secara ekonomi, politik, maupun kemajuan
teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia menuntut adanya reformasi dan
pola pandang equal dalam tubuh PBB, sehingga berbagai persoalan konflik dan
kekerasan yang terjadi bisa diatasi secara lebih cepat dan maksimal. Bagi
Presiden SBY berlarut-larutnya konflik dan kekerasan seperti yang terjadi di
Suriah merupakan konsekuensi dari mandeknya mekanisme dalam PBB yang seharusnya
bisa mengambil tindakan cepat untuk mengatasinya sebelum jatuh korban manusia
yang tak berdosa.
Dalam konteks ASEAN, pola
pandang dan pendekatan tersebut tampaknya ingin ditekankan Presiden SBY dengan
membuka seluas mungkin dialog dan kerja sama dalam berbagai bentuknya. Langkah
ini perlu diambil terlebih untuk
meminimalisasi kebuntuan kepentingan di antara anggota ASEAN yang tidak jarang
berakhir konflik.
Memperluas dan Memperkuat
Sulit dimungkiri, ada
beberapa agenda yang harus diselesaikan oleh ASEAN, khususnya terkait potensi
konflik yang terjadi di beberapa negara. Potensi konflik di Thailand Selatan
(Pattani), Filipina (Moro), Myanmar (Rohingnya), dan beberapa kelompok
minoritas lainnya merupakan agenda yang mendesak dicarikan solusinya. Namun
demikian, beberapa kemajuan yang dicapai
negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadikan ASEAN sebagai magnitud baru
yang semakin memiliki posisi tawar di mata dunia. Terlebih sebagai pasar yang
menjanjikan bagi keuntungan ekonomi baik bagi ASEAN maupun negara di luarnya.
Sikap ASEAN yang terbuka
terhadap beragam kerja sama bisa mempercepat transformasi di lingkungan
negara-negara anggotanya. Dalam hal politik misalnya, Myanmar yang selama ini
menjadi sorotan karena sistem otoritarianismenya mulai membuka diri melalui
mekanisme demokrasi. Begitu juga potensi konflik lainnya, bisa diselesaikan
seefektif mungkin melalui kerja sama terbuka. Semua proses pencapaian positif
tersebut harus terus dikawal bersama melalui soliditas ASEAN.
Dengan demikian, agenda
yang mendesak bagi ASEAN, selain memastikan terwujudnya kebersamaan dan
kesamaan takdir adalah mempeluas kerja sama dengan negara lain. Langkah ini
merupakan bagian dari upaya memperkuat tiga pilar ASEAN, yaitu
politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya dengan tetap menjaga kedaultan
ASEAN. Kekuatan ASEAN akan terlihat ketika mampu melakukan bargaining dengan
kekuatan global. Lebih dari itu semua, ASEAN sebagai a people-centered and
people-oriented community harus betul-betul dirasakan manfaatnya oleh semua
lapisan sebagai sebuah komunitas bersama. Inilah yang oleh Presiden SBY sebut
sebagai mutually-beneficial relations, ikatan yang menguntungkan dan
mensejahterakan semua. Semoga.*