Opini
Anomali Interpelasi Nuklir Iran
Indo Pos, Kamis, 5 April 2007
A. Bakir Ihsan
Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB begitu urgen bagi anggota DPR. Bahkan, ia jauh lebih menarik daripada persoalan lain sehingga layak untuk diinterpelasi. Soliditas anggota dewan ternyata lebih mengental dalam persoalan nuklir Iran daripada impor beras, bencana transportasi, busung lapar, kemiskinan, dan ancaman penyakit flu burung yang mengancam rakyat. Di sinilah anomali interpelasi yang sedang digalang DPR.
Kalau interpelasi itu berhasil diselenggarakan, semakin miris rasanya di tengah kegagalan DPR menggunakan hak interpelasi dalam masalah yang jauh lebih bermakna bagi kehidupan masyarakat. Fenomena itu dapat ditafsirkan semakin liarnya orientasi anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Masalah yang tak berpengaruh langsung bagi kehidupan masyarakat ternyata lebih menarik perhatian dan mengentalkan kolektivitas anggota dewan yang jelas-jelas digaji oleh uang rakyat, bukan dari hasil nuklir Iran, atau belas kasih Amerika dan sekutunya.
Wajar apabila rakyat menganggap partai -yang tepersonifikasi dalam diri anggota dewan- tidak lagi sebagai representasi aspirasinya. Sebagaimana dilansir Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2007 bahwa 65 peren rakyat menganggap terjadi disparitas antara sikap dan perilaku partai (elite politik) dengan kehendak rakyat. Dan, interpelasi tentang resolusi DK PBB itu semakin memperkuat hasil survei tersebut.
Makna Interpelasi
Banyak makna yang bisa dipahami dari langkah interpelasi yang dirancang DPR terkait resolusi DK PBB atas Iran. Pertama, interpelasi sebagai bargaining (move) politik. Hal itu terlihat dari ketidakpuasan anggota dewan atas penjelasan yang diberikan Menlu Hassan Wirajuda dalam rapat dengan komisi I yang memakan waktu 6 jam (29 Maret). Mereka masih menginginkan penjelasan langsung dari Presiden SBY.
Padahal, dalam sistem presidensial, menteri merupakan satu tubuh kepresidenan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, bisa dipastikan bahwa penjelasan presiden tidak akan berbeda dengan penjelasan Menlu sebagai pembantunya. Di sini terlihat bahwa ada kepentingan yang lebih dari sekadar interpelasi.
Kedua, antagonisme politik. Selama ini terjadi tarik-menarik antara legislatif dan eksekutif. Dalam beberapa kasus, legislatif memerankan diri sebagai penentu eksekutif, termasuk desakan reshuffle kabinet. Padahal, secara yuridis, keduanya berdiri sejajar. Itu semua terjadi akibat antagonisme politik yang menutup kesepahaman antarkeduanya.
Karena itu, dalam kasus resolusi DK PBB terkait nuklir Iran, muncul tuduhan eksesif bahwa dukungan pemerintah atas resolusi tersebut sebagai tindakan melanggar UUD 1945. Dan, bisa ditebak, tuduhan inkonstitusional presiden itu bisa berujung pada pemakzulan.
Ketiga, problem semipresidensialisme. Secara de facto, sistem politik saat ini bercorak semipresidensial yang berpijak pada ambiguitas relasi antara legislatif dan eksekutif. Dalam hal interpelasi resolusi 1747 ini, terlihat jelas partai pemerintah (Golkar) terlibat bahkan memelopori interpelasi. Sejatinya merekalah yang paling awal bisa memahami dan menyosialisasikan keputusan pemerintah yang didukungnya. Sayang, semua itu tidak terjadi.
Keempat, langkah interpelasi itu sebagai mode atau upaya pencitraan di tengah merosotnya citra anggota dewan sekaligus penurunan citra SBY-Kalla yang menurut survei LSI, Maret 2007, anjlok.
Interpelasi kali ini bisa menjadi momentum pencitraan DPR setelah dikritik keras atas fasilitas laptop yang akhirnya digagalkan. Bisa juga sebagai pembuktian bahwa interpelasi merupakan hak yang bisa dilaksanakan DPR setelah beberapa kali mati kutu pada masa-masa sebelumnya. Sementara bagi pemerintah, hal itu menambah citra negatifnya. Sayang, ini dilakukan partai pendukungnya.
Politis dan Teologis
Dukungan atas interpelasi terkait nuklir Iran itu kalau dilihat dari substansinya sangatlah sumir. Apalagi, resolusi demi perdamaian tersebut didukung sepenuhnya oleh negara-negara Arab sebagaimana tertuang dalam pertemuan Liga Arab baru-baru ini. Namun, bagi anggota DPR, dukungan pemerintah menjadi blunder. Pada titik ini, ada nuansa eksploitasi isu yang berkembang, mulai persoalan politis hingga teologis.
Secara politis, Resolusi 1747 mendapatkan dukungan kuat di tengah hegemoni dan ketegangan Amerika dengan Iran. Akibatnya, keputusan lembaga internasional seperti PBB selalu ditafsirkan sebagai manifestasi kepentingan Amerika. Dan, negara yang mendapatkan sanksi akan dibaca sebagai bentuk penindasan dan eksploitasi global yang dimotori Amerika.
Sementara secara teologis, resolusi tersebut terkait eksistensi Iran sebagai negara muslim. Relasi kultural antara masyarakat muslim dieksploitasi sehingga menarik masalah tersebut pada ranah teologis, termasuk ancaman perang salib. Padahal, masalah tersebut sejatinya merupakan ranah politik global yang tak terkait ajaran agama.
Interpelasi anggota DPR harus tetap dihargai sebagai hak anggota dewan. Namun, kalau dikaitkan dengan substansi persoalan yang sumir, langkah seperti itu tak boleh berulang karena lebih cenderung pada unsur politis daripada penguatan peran dan hak anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Apabila cara-cara -interpelasi masalah sumir- tersebut berkembang, DPR akan terkesan mengedepankan mode (tren) daripada pemberdayaan politik rakyat sebagai realitas yang diwakili.
Efektivitas energi anggota dewan sejatinya bisa dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada rakyat di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap peran dan eksistensi dirinya. Hal itu bisa dilakukan melalui kontrol yang kuat atas langkah dan kebijakan pemerintah. Terlalu banyak persoalan yang lebih serius dihadapi masyarakat.
Walaupun pada akhirnya interpelasi terjadi, itu bukan jaminan bahwa DPR akan melakukan hal yang sama dalam kasus-kasus yang lebih urgen dan berkorelasi signifikan dengan kepentingan rakyat, seperti kasus lumpur Lapindo, Trisaksi, illegal logging, illegal mining, dan kasus-kasus lainnya. Bargaining politik akan lebih mengemuka dalam menentukan urgen tidaknya sebuah kebijakan pemerintah diinterpelasi.
Cacat Bawaan
Interpelasi sebagai hak anggota dewan seharusnya bisa dilakukan secara efektif. Tolok ukur efektivitas sebuah interpelasi adalah keterkaitannya dengan persoalan rakyat. Yaitu, seberapa jauh interpelasi tersebut memberikan manfaat langsung bagi kehidupan nyata rakyat.
Dalam konteks tersebut, diperlukan kecerdasan anggota dewan membaca dan memperjuangkan aspirasi yang berkembang. Langkah interpelasi resolusi DK PBB itu menjadi blunder yang menggerus isu-isu lokal. Bencana transportasi yang menelan ratusan korban jiwa akibat kelalaian aparatnya menghilang seiring isu interpelasi. Napas warga Sidoarjo yang sekarat akibat banjir lumpur panas nyaris tak tersentuh. Nasib para martir reformasi sudah hilang dari memori Senayan. Itu semua merupakan cacat bawaan sekaligus potret anggota dewan yang hadir berdasar seleksi partai yang elitis, bukan rakyat yang berdaulat.
No comments:
Post a Comment