Opini
SBY dan standar hidup manusia Indonesia
Bisnis Indonesia, Rabu, 22 November 2006
A. Bakir Ihsan
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, eksistensi manusia berada dalam dilema. Satu sisi dia menjadi pertaruhan harapan masa depan, namun di sisi lain mencemaskan. Hal ini biasanya didasarkan pada kontradiksi antara kualitas dan kuantitas manusia, antara pertumbuhan dan pembangunan warga bangsa.
Inilah yang menjadi kegelisahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti yang disampaikan pada Kongres Nasional Manusia Indonesia 2006 beberapa waktu lalu. Menurut Kepala Negara, pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai ambang batas yang mengkhawatirkan.
Problem eksistensi manusia ini semakin berat akibat beragam bencana menyelimuti bangsa. Krisis eksistensi manusia ini dengan sendirinya mengancam seluruh modal baik berupa potensi alamiah yang tersedia maupun modal fisik (physical capital) yang sudah ada. Bahkan dalam jangka panjang dapat mengancam aspek social capital yang telah lama menjadi trade mark kita sebagai bangsa yang toleran, solider, dan menghargai perbedaan.
Krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini merupakan muara dari sejarah kekuasaan yang totaliter, otoriter, dan sentralistik. Negara telah mendistorsi dan mengeksploitasi modal tersebut menjadi keuntungan bagi segelintir orang, bukan untuk seluruh masyarakat. Ini semua merupakan konsekuensi dari realitas politik kekuasaan yang, menurut Guillermo O'Donnell, bersifat otoritarianisme birokratik (bureaucratic authoritarianism).
Ini merupakan sistem kekuasaan yang dikendalikan melalui birokrasi yang mengabdi pada penguasa dan mengkooptasi seluruh kekuatan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat serta institusi kenegaraan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kekuasaan sangat menentukan kelangsungan nasib seluruh modal yang dimiliki oleh suatu negara. Ketika kekuasaan otoriter, maka segala modal akan hancur. Sebaliknya ketika kekuasaan berlangsung secara demokratis, idealnya pengembangan semua modal akan berlangsung secara efektif. Namun, bagaimana kenyataannya?
Beban alam
Menurut laporan bertajuk Human development report 2006 beyond scarcity: power, poverty, and the global water crisis, yang dilansir beberapa waktu lalu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2006 naik dua tingkat dari urutan 110 menjadi 108. Di tengah berbagai problem yang dihadapi oleh pemerintahan SBY baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya, kenaikan tersebut cukup memberi harapan.
Namun, kalau dibandingkan dengan negara Asean lainnya, IPM Indonesia masih tergolong paling rendah setelah Myanmar dan Kamboja. Kenyataan ini tentu menjadi keprihatinan SBY.
Secara politik, dengan modal kekuasaan langsung dari rakyat (direct democracy), SBY sejatinya memiliki kesempatan cukup luas untuk mengembangkan atau paling tidak mengembalikan sumber daya yang tersedia. SBY bisa memobilisasi seluruh kekuatan yang ada di masyarakat untuk bersama menggerakkan pelbagai sektor kehidupan.
Namun, modal politik saja tidak cukup karena realitas problem yang mendera negara saat ini sangat kompleks. Paling tidak langkah kerja SBY harus berhadapan dengan dua tantangan, yaitu beban sejarah yang distortif dan deviatif serta bencana yang eksesif.
Beban sejarah tidak bisa diselesaikan dalam hitungan periode kekuasaan, tapi generasi demi generasi. Otoritarianisme yang ditunjukkan oleh kekuasaan masa lalu telah menghancurkan modal dasar baik yang terkandung pada alam maupun SDM. Kehancuran tersebut begitu eksesif merusak sistem birokrasi dan merasuk ke ranah kultural. Salah satu hasilnya adalah korupsi yang tumbuh subur dan menjadi realitas sistemik.
Begitu parahnya warisan kekuasaan masa lalu, menyebabkan SBY tidak mudah untuk menyelesaikan agenda yang menjadi komitmen utamanya, yaitu pemberantasan korupsi. Resistensi dan perlawanan dengan berbagai cara yang dilakukan oleh para koruptor membuktikan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari bawah sadar sebagian elit politik, sehingga mereka merasa risih dengan upaya pemerintah menciptakan clean government.
Sementara di sisi lain, pemerintahan SBY dihadapkan pada bencana yang tidak saja melahirkan korban nyawa dan harta, tapi juga menyedot anggaran negara yang tak terkira. Lebih dari itu, bencana telah menyebabkan hancurnya human capital. Potensi kecerdasan masyarakat hilang karena meninggal dunia maupun kekurangan gizi dan sulitnya mengenyam pendidikan akibat tak punya harta.
Soliditas & solidaritas
Di tengah kemiskinan dan krisis multidimensi melanda masyarakat, yang dibutuhkan adalah soliditas dan solidaritas. Inilah yang seharusnya menjadi standar kualitas hidup manusia Indonesia. Standar kualitas pembangunan manusia tidak bisa semata dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau standar fisik lainnya, tapi pada kesadaran dan kepedulian pada sesama.
Standar pembangunan manusia yang melulu didasarkan pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan fisik lainnya secara tidak langsung ikut melanggengkan kesenjangan dan mengabadikan perbedaan. Diferensiasi antara kaya dan miskin, sejahtera dan melarat akan tetap terpelihara sepanjang dijadikan standar hidup tanpa dibarengi penguatan aspek lainnya yang jauh lebih substansial, yaitu penguatan soliditas dan solidaritas.
Di tengah anggaran negara yang sangat terbatas dan problem sosial yang tak kunjung selesai, penguatan soliditas dan solidaritas menjadi sangat strategis. Sayangnya kedua unsur ini semakin terkikis justru di saat negara membutuhkannya. Soliditas dan solidaritas hanya tumbuh di saat ada ancaman atau bencana melanda.
Soliditas dan solidaritas masih bersifat termporal dan seremonial. Padahal faktor inilah yang akan menjadi benteng eksistensi warga negeri yang pluralistik ini dari ancaman disintegrasi dan kepunahan.
Penguatan soliditas dan solidaritas ini penting, karena landasan berbangsa kita bukan tumbuh dari kesadaran tapi dari imajinasi (imagened communities). Imajinasi bisa tumbuh berkembang ketika terus dipupuk melalui kebersamaan, dan dia akan layu di saat tiap individu berfikir kepentingannya sendiri.
No comments:
Post a Comment