Opini
Insentif
Demokrasi dan Pemerataan Ekonomi
SUARA PEMBARUAN, Jum’at, 8 November
2013
A. Bakir Ihsan
Ada dua moment
penting dalam sebulan terakhir di Bali, yaitu KTT APEC (7-8 Oktober) dan Bali
Democracy Forum atau BDF (7-8 November). Kedua moment ini merepresentasikan dua
hal pokok dalam kehidupan negara bangsa. APEC merupakan sebuah asosiasi
geo-ekonomi antar negara di kawasan Asia Pasifik, sementara BDF merupakan
sebuah ikhtiar menumbuhkan demokrasi dalam konteks geo-politik Asia Pasifik. Dengan mengusung tema; “Consolidating
democracy in pluralistic society, BDF VI kali ini diikuti oleh perwakilan
53 negara di Asia-Pasifik dan puluhan pengamat di luar kawasan tersebut.
Dua hajatan ini
menarik ditelaah karena dua hal. Pertama, pada level wacana keilmuan,
ekonomi dan demokrasi merupakan dua sisi yang dialektis. Sudah banyak kajian
dan penelitian disusun dengan melihat dinamika kedua aspek tersebut sebagai
faktor penting dalam kehidupan negara bangsa. Banyak kajian dan telaah terkait
relasi pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Di antaranya Adam Przeworski (2003) yang
menyebutkan bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara yang sehat (wealthy
countries). Demokrasi, menurutnya, cenderung mengikuti “kesehatan”
pendapatan rakyatnya. Sementara Seymour Martin Lipset (1959) menyebutkan
masing-masing bagian punya kesempatan yang sama bagi kelangsungan demokrasi (the
more well-to-do a nation, the greater the chances it will sustain democracy).
Ekonomi dan politik (demokrasi) sejatinya tak bisa dipisahkan. Namun secara
faktual, skala prioritas seringkali menyebabkan salah satunya menjadi sangat
dominan dan lainnya determinan.
Kedua,
pada level praksis, Indonesia menjadi miniatur yang merepresentasikan kedua
aspek tersebut. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan dan perkembangan demokrasinya yang
semakin mekar. Menurut Presiden SBY, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia
lebih dari dua kali dari pertumbuhan rata-rata ekonomi dunia. Di sisi lain, perjalanan
demokrasi dengan segala dinamikanya menunjukkan arah optimistik, terlebih bila
dibandingkan dengan perkembangan demokrasi di kawasan lainnya. Antusiasme
masyarakat dan tingkat partisipasi dalam setiap kontestasi menjadi bukti
sekaligus modal penting bagi keberlangsungan demokrasi untuk sampai pada ranah
konsolidasi.
Karena itu,
tulisan ini mencoba menelaah relasi ekonomi dan demokrasi berdasarkan salah
satu kesepakatan dalam KTT APEC dan kemungkinan adanya senyawa dengan misi yang
diemban dalam perhelatan BDF.
Problem distribusi
Salah satu point
penting, dari tujuh hasil, yang dicapai dalam KTT APEC XXI di Bali itu adalah
memastikan pertumbuhan yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Para pemimpin
APEC bersepakat untuk memfasilitasi dan memperkuat Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), serta perempuan pengusaha dan muda. Point ini menarik untuk ditelaah
karena distribusi peluang bagi pengembangan ekonomi selama ini cenderung
dikuasai oleh pemilik modal besar. Secara tidak langsung, keputusan KTT APEC ini
mengafirmasi bahwa ada problem distribusi dalam pertumbuhan ekonomi antara
pengusaha besar, menengah, dan kecil serta yang berbasis gender dan usia.
Persoalan
(keadilan) distribusi tidak bisa diserahkan pada pasar yang terstruktur
berdasarkan kepemilikan modal. Diperlukan regulasi yang berpihak (affirmative
action) yang memungkinkan masing-masing elemen masyarakat memiliki posisi
tawar yang sama. Membiarkan mekanisme pasar dengan sistem hegemoniknya sama
saja merawat kelompok kecil terus menjadi pemain pinggiran atau sekadar agen
dari korporasi.
Posisi strategis
APEC sebagai organisasi kerja sama ekonomi kawasan Asia Pasific tidak perlu
diragukan lagi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pembukaan The
APEC CEO Summit 2013, pertumbuhan ekonomi APEC mencapai 54 persen dari produk
domestik bruto global dan 44 persen dari perdagangan global. Sementara secara
demografis anggota APEC menyumbang 40 persen dari seluruh jumlah penduduk dunia,
karena tiga dari empat negara terbesar jumlah penduduknya bergabung di
dalamnya, yaitu, China, Amerika, dan Indonesia. Dalam hal perdagangan telah
tumbuh hampir tujuh kali lipat sejak tahun 1989, yaitu mencapai lebih dari 11
triliun dolar AS (2011).
Begitu juga
negara-negara peserta BDF yang didominasi oleh negara-negara Asia menunjukkan
pertumbuhan ekonominya yang relatif baik dibandingkan dengan sebagian negara di
kawasan lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata melahirkan problem yang
sama, yaitu belum maksimalnya distribusi pemerataan. Problem ini tidak bisa
dijawab oleh (pertumbuhan) ekonomi an sich. Pemerataan merupakan wilayah kebijakan
(politik) rezim yang ada di masing-masing negara. Dalam konteks ini, baik pada
negara-negara anggota APEC maupun negara-negara peserta BDF memiliki fakta yang
berbeda.
Insentif Demokrasi
Berdasarkan
standar kebebasan yang dikeluarkan oleh Freedom House 2013, maka ada tiga
kategori rezim yang bisa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonominya. Pertama,
negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem (rezim) tidak demokratis, seperti
China dan Rusia. Kedua, negara yang ekonominya tumbuh dengan sistem
demokrasinya yang juga mekar, seperti India dan Indonesia. Ketiga,
negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif bagus dengan sistem
politik setengah demokratis (partly free), seperti Singapura, Hongkong,
dan Malaysia.
Dari 21 anggota
APEC dan 53 negara peserta BDF bisa dipilah melalui ketiga kategori tersebut
dengan mengukur tingkat kualitas demokrasi dan pertumbuhan ekonominya. Secara
umum, negara yang masuk dalam kategori kedua (ekonomi dan demokrasinya tumbuh)
masih relatif sedikit dibandingkan dengan kategori pertama dan ketiga. Bahkan ada
negara yang ekonominya berkecukupan dalam sistem kerajaan, seperti Arab Saudi
dan Brunei Darussalam. Dalam sistem yang tidak demokratis, sulit membayangkan
adanya pemerataan distribusi yang maksimal, karena tidak adanya kontrol dan
transparansi terkait sumber pendapatan dan belanja negara. Hal ini berbeda
dengan negara yang demokratis, adanya kontrol yang kuat dari civil society
membuat negara tidak bisa menutup diri, walaupun pada titik tertentu masih
berhadapan dengan pejabat dan birokrasi yang bebal dalam beragam deviasi dan
korupsi.
Kalau ditarik
pada salah satu kesepakatan APEC yang berusaha memfasilitasi dan memperkuat
Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka demokrasi menjadi kemestian. Demokrasi
menjadi penting untuk memastikan adanya kebijakan (regulasi) yang berpihak pada
mereka yang memerlukan perlakuan khusus dalam kompetisi pasar yang timpang.
Inilah insentif demokrasi bagi pertumbuhan ekonomi yang merata, khusus di
kawasan Asia Pasifik. Tanpa demokrasi, maka peluang distribusi ekonomi yang
merata tak akan banyak bermakna. Sebagaimana temuan Miles Simpson (1990) bahwa
sistem demokrasi politik memberikan ruang egaliter terhadap distribusi income. Dengan
demikian, agenda pemerataan distribusi ekonomi (pertumbuhan inklusif)
sebagaimana disepakati dalam KTT APEC XXI harus berjalin kelindan dengan
konsolidasi demokrasi dalam masyarakat yang majemuk, sebagaimana diusung dalam
BDF kali ini. Tentu ini bukan agenda mudah dan instan. Ikhtiar yang tak ada
henti tentu lebih memberi harapan daripada sekadar menyesali. Semoga.