Opini
Urgensi Diplomasi Bumi
Koran
TEMPO, Selasa, 24 Juli 2012
A. Bakir Ihsan
Dalam penutupan KTT Bumi (earth
summit) di Brasil, 22/6, Sekjen
PBB Ban Ki-moon menyatakan optimismenya tentang masa depan bumi; “The speeches are
over. Now the work begins.” Optimisme tersebut diulanginya kembali dalam Sidang Umum Majelis PBB, 28/6,
Ban; “Let
me be clear. Rio+20 was a success...In Rio, we saw the
further evolution of an undeniable global movement for change.”
Rio+20 tentu tak sekadar perhelatan. Di dalamnya
terkandung keprihatinan sekaligus harapan yang memuncak atas nasib bumi yang
kian terancam dan mengancam. Sebagaimana tema besar Rio+20, "Future We Want" (Masa
Depan yang Kita Mau) menyiratkan cita kolektif untuk memakmurkan bumi kembali melalui
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) demi masa depan.
Keprihatinan
terhadap kehidupan di muka bumi ini didasarkan pada fakta problem kemanusiaan
global yang semakin menyesakkan. Pertumbuhan penduduk yang tak diimbangi oleh
ketersediaan kebutuhan hidup, kerusakan darat, laut, dan udara, kelayakan hidup
yang semakin mahal, dan, menurut data PBB, lebih semiliar manusia kelaparan
setiap harinya menjadi potret buram yang, bila dibiarkan, akan mendekatkan bumi
pada ajalnya.
Transformasi
kultural
Masalah bumi tentu tak bisa
dijawab hanya melalui KTT Bumi yang baru berusia 20 tahun. Terlalu panjang
distorsi dan deviasi yang mendegradasi fungsi bumi dan manusia. Kolektivitas
rasa prihatian dan ancaman yang semakin nyata bagi semua negara, menggerakkan
kesadaran untuk mengalihkan kepedulian pada bumi. Minimal ada kesadaran tentang
bumi yang semakin terancam sekaligus mengancam kehidupan manusia sendiri.
Namun, kepedulian tersebut
masih menyisakan agenda yang timpang. Di tengah hegemoni negara maju dengan
kapitalisme dan neo-liberalismenya, agenda bumi cenderung menjadi beban negara
berkembang. Titik sorot problem lingkungan selalu ditimpakan pada negara
berkembang yang masih bergulat dengan persoalan ekonominya. Inilah yang
dikritisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rio+20. Problem bumi yang
dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah adanya kepentingan antara mempertaruhkan
kepentingan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada alam dan upaya mengembalikan
fungsi bumi secara berkeadilan.
Karena itu, bumi tidak bisa
dilihat semata persoalan komitmen kenegaraan (struktural). Bahwa kebijakan
terkait bumi bisa menjadi jalan untuk merawat bumi, memang sulit dimungkiri.
Apalagi betul-betul didukung oleh berbagai negara untuk mewujudkannya
sebagaimana tercetus dalam Rio+20 di Brasil.
Namun yang tak kalah pentingnya
adalah komitmen budaya untuk menjadikan isu bumi sebagai gerakan massif. Kalau
kita berkaca pada gerakan perubahan yang terjadi di Amerika Latin, termasuk di
Brasil, gerakan kultural ini menjadi magnitud yang bisa membongkar hegemoni status
quo. Sebagaimana kita maklumi, negara-negara di Amerika Latin, seperti Brasil bukan sekadar sebuah negara. Ia merupakan representasi dari sejarah
profetis-kultural yang menggetarkan jagad pergerakan baru. Pada awal 1970-an misalnya, Brasil menjadi bagian dari gerakan teologi pembebasan yang membongkar
kepalsuan sosialisme yang didominasi elite dan mengembalikannya kepada
kemurnian praktik yang membebaskan.
Saat ini, Brasil, sebagaimana
menjadi mainstream Amerika Latin, menjadi kekuatan arus balik (neo-sosialisme) di
tengah hegemoni pasar bebas. Bahkan dalam konteks bumi, Brasil
berhasil menciptakan ekonomi hijau (green
economy) melalui praktik daur ulang, peralihan ke energi
terbarukan, dan menciptakan lapangan kerja yang ramah alam (green jobs).
Diplomasi bumi
Kita punya sejarah dan semangat
pembebasan yang tak kalah heroik dan “teologisnya” daripada Brasil. Sebagai
bangsa yang berhasil keluar dari cengkraman penjajah melalui perlawanan sosial dan
bisa berdiri tegak melewati beragam krisis menjadi modal optimisme bagi setiap upaya
pembebasan. Kekuatan kultural bangsa yang pada level tertentu menjadi benteng
gerak struktur kekuasaan, menjadi kunci bertahannya Indonesia dari beragam
ancaman krisis. Bahkan di tengah krisis global saat ini, Indonesia bukan hanya
bertahan, namun berhasil merawat pertumbuhan ekonominya.
Modal ini tak akan bermakna,
bahkan bisa menjadi duri, bila tak disikapi dan dirasakan sebagai keberhasilan kolektif
sebagai bangsa. Terlebih berhadapan dengan krisis global yang sampai saat ini
belum berakhir dan bisa mengancam ketahanan ekonomi nasional.
Karena itu, keberhasilan kita “bertahan di tengah krisis”
saat ini sejatinya bisa menjadi modal untuk melakukan bargaining bagi
terciptanya diplomasi global yang berorientasi pada bumi. Selama ini, diplomasi
global lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dengan kedok demokrasi.
Beragam strategi yang terbangun dalam diplomasi (baca; intervensi) selama ini
adalah upaya hegemoni negara tertentu dengan menekan sistem sebuah negara atas
nama demokrasi dengan beragam kepentingan di belakangnya.
Diplomasi bumi ini menjadi penting karena kerusakan bumi
melampaui sistem kenegaraan. Baik negara dengan sistem demokrasi, otoriter,
maupun totaliter, terancam oleh kerusakan bumi. Diplomasi bumi merupakan
jembatan bagi tersambungnya relasi antar negara yang semakin tak terelakkan.
Tentu langkah ini tidak mudah di tengah ego kepentingan masing-masing negara.
Namun, melalui komitmen dan citra positif Indonesia di
dunia internasional dan langkah soft power yang selama ini dimainkan
Indonesia baik pada level regional maupun global, upaya ke arah terciptanya diplomasi
bumi bisa dimulai. Perlu langkah konkret untuk memaksa meleburnya ego
kepentingan masing-masing negara bagi satu bumi atau apa yang diistilahkan
Presiden SBY sebagai sustainable growth with equity dalam segala
tingkatannya. Masing-masing negara tetap dalam ikhtiar mengejar kemajuan dengan
beragam paradigmanya. Namun di saat yang sama ada kesenyawaan visi dan aksi
dalam merawat satu bumi.
Di tengah lenturnya ideologi-ideologi global akibat ancaman krisis yang
sama, bumi bisa menjadi paradigma baru yang menentukan posisi tawar dalam
relasi antar bangsa dan antar negara. Bumi menjadi penentu eksistensi dan
diplomasi antar negara sekaligus menjadi identitas kebangsaan global, karena
bumi adalah jantung kehidupan. Dan ini perlu keberpihakan kolektif baik secara
struktur kelembagaan negara maupun kultur setiap anak bangsa. Karena, menurut
Sekjen Rio+20, Sha Zukang, nothing in the world has been – or will ever be – stronger than collective
human ingenuity harnessed for the purposes of good. Inilah senyawa bumi
manusia yang menentukan hidup mati alam raya. Karenanya, perlu langkah bersama.
Semoga.