Opini
Negara; antara Umat dan Warga
Seputar Indonesia, Sabtu, 4 September 2010
A. Bakir Ihsan
Demokrasi sejatinya menjadi ruang bersemainya kedamaian. Setiap potensi konflik selalu tersedia jalan keluar. Namun yang terjadi, demokrasi bagi sebagian warga menjadi jalan buntu. Atas nama mayoritas, minoritas dihakimi dan didiskriminasi. Minoritas dalam berbagai hal cenderung terancam oleh tindakan diskriminatif kelompok dominan dalam segala bentuknya.
Fenomena diskriminasi seakan menjadi potret buram harian yang mengiringi perjalanan hiruk pikuk politik di negeri ini. Setara Institute, beberapa waktu lalu merelease laporannya terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas. Untuk bulan Januari-Juli 2010 eskalasi kekerasan terhadap kelompok minoritas meningkat dibandingkan pada bulan yang sama tahun lalu. (www.setara-institute.org).
Kekerasan dan diskriminasi tak pernah tuntas karena penyelesaiannya berhenti pada ranah prosedural semata. Kekerasan dilihat sekadar problem hukum (kriminal), tanpa transformasi pada akar persoalan yang berpijak pada kesadaran sebagai warga. Akibatnya atas nama hukum atau peraturan, orang atau kelompok mengadili kelompok lainnya. Kekerasan pun tak pernah usai. Pun kasus yang menimpa belasan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI), Bekasi, beberapa waktu lalu memperpanjang daftar diskriminasi dalam beragama. (Seputar Indonesia, 9/8).
Negara sebenarnya tidak tidur. Terbukti, tak lama setelah peristiwa itu, Presiden SBY menginstruksikan Menkopolhukam untuk melakukan tindakan kongkret, nyata, dan terukur untuk menyelesaikan peristiwa itu. Sejatinya instruksi tersebut tak perlu, bila aparat bertindak tangkas dengan melindungi masyarakat yang terancam.
Keberagamaan prosedural
Fenomena penghakiman terhadap kelompok lain merupakan puncak gunung es dari problem relasi keberagamaan. Fenomena serupa akan terus berulang apabila konstruksi kebangsaan tersubordinasi oleh primordialisme keagamaan. Dan pada titik tertentu, bisa meretakkan soliditas dan solidaritas sesama anak bangsa.
Perbedaan persepsi keagamaan merupakan keniscayaan sebagai sebuah dialektika sejarah. Sumber ketuhanan yang sama secara ontologis (esoteris) termanifestasi dalam ranah epistimologis (eksoteris) yang beragam (berbeda-beda). Perbedaan tersebut menjadi krusial ketika mengkristal menjadi keyakinan (personal) yang dipaksakan pada ranah publik dan abai terhadap eksistensi negara. Tolok ukur kebenaran komunal mengeliminasi kebenaran lain yang dianggap berbeda, karena ideologi negara terabaikan. Sehingga terjadi pengadilan terkait apa yang mereka anggap sebagai penghinaan, penistaan, pelecehan, dan segala bentuk gradasi keyakinan berdasarkan keyakinan subyektif komunalnya.
Fenomena ”pengadilan” keberagamaan merupakan konsekuensi lebih jauh dari sikap keberagamaan prosedural yang dijalankan secara eksklusif dan mencari pembenarannya pada ranah publik. Ironisnya, di alam demokrasi ini, pembenaran pada ranah publik tak jarang dilegitimasi melalui peraturan atau undang-undang yang menguntungkan mainstream. Akibatnya, minoritas selalu menjadi korban (terdakwa) dari tafsir kebenaran atas nama mayoritas.
Keberagamaan prosedural berpotensi memperhadapkan simbol-simbol keagamaan. Namun simbol tersebut tak berdampak apa-apa, kalau aspek simbolik tersebut tersubordinasi oleh nilai-nilai universal yang terkandung dalam semua agama. Penguatan pada nilai-nilai universal inilah yang sering terabaikan karena penekanan yang berlebih pada aspek prosedur-formal. Terlebih dengan adanya politisasi keagamaan, semakin meruncingkan perbedaan simbol-simbol.
Karena itu, pernyataan Presiden SBY tentang perlunya pemisahan persoalan agama, politik, dan hukum dalam merespon penangkapan Abu Bakar Ba'asyir beberapa waktu lalu sejatinya menjadi pijakan konkret dalam melihat secara jernih antara agama sebagai rujukan nilai agung dengan agama yang dijadikan topeng kepentingan untuk mengancam.
Umat dan warga
Sikap keberagamaan (keumatan) sulit dilepaskan dari masyarakat, karena negara mewajibkan warganya berketuhanan. Tapi sikap keberagamaan tersebut sejatinya berjalin kelindan dengan tata norma kenegaraan sebagai pemegang otoritas tunggal atas dinamika kehidupan sosial. Dengan pola pandang seperti ini, maka tak ada satu otoritas pun di luar negara yang bisa mengadili dan menghakimi terhadap kehidupan sosial warga negara.
Karena itu, problem relasi umat beragama harus ditarik pada dua ranah, yaitu ranah budaya dan ranah politik. Ranah budaya berpangkal pada kesadaran umat, sementara ranah politik berpijak pada tatakelola negara terhadap warganya. Keduanya tak bisa dipisahkan untuk ”mendamaikan” perbedaan-perbedaan simbolik yang pada titik tertentu bisa menjelma menjadi konflik.
Kesadaran umat merupakan tanggungjawab elite agama untuk mentransformasikan kesadaran beragama sebagai landasan bernegara. Sehingga setiap penganut agama menjadi berindonesia karena agamanya. Bukan sebaliknya, agama berlomba menggunakan negara untuk kepentingan kelompoknya. Kesadaran seperti ini memerlukan proses sekularisasi sehingga memberi jalan terang dan jelas antara persoalan keyakinan sebagai manifestasi keumatan dan amalan sebagai manifestasi kewargaan.
Dalam konteks politik, sekularisasi kesadaran ini berimplikasi pada berakhirnya obsesi agamaisasi negara. Negara merupakan ranah publik yang melayani semua keyakinan dan agama. Negara menjadi kawah candradimuka yang memberi kesejukan semua penganut agama tanpa kasta.
Sekularisasi kesadaran dalam konteks ini tak terkait langsung dengan diferensiasi struktural yang tumbuh seiring dengan proses modernisasi. Karena, sebagaimana Peter L. Berger dalam Religious America, Secular Europe? (2008) berkeyakinan bahwa modernisasi tak selalu berbuah sekularisasi. Departementasi keagamaan di dalam struktur kenegaraan bisa dimaknai sebagai bentuk sekularisasi formal (social institutions) yang tak selalu berjalin kelindan dengan transformasi (sekularisasi) kesadaran. Karena itu, kesadaran (budaya) sebagai penggerak institusi, memerlukan konstruksi yang tepat bagi kelangsungan kehidupan sosial yang kental dengan nuansa agama. Sekularisasi kesadaran tetap menjaga urgensi nilai-nilai agama bagi para pemeluknya (umat) sebagai landasan bagi terciptanya harmoni dalam interaksi dalam kehidupan sosial sebagai warga.*