Jembatan Politik Menanggulangi Kemiskinan
Media Indonesia, Rabu, 31 Oktober 2007
A. Bakir Ihsan
Tiga tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disuguhi wacana yang kurang menggembirakan. Dari beberapa survei yang dilakukan beberapa lembaga penelitian ditemukan adanya penurunan ekspektasi terhadap kepemimpinan SBY. Salah satu faktor yang sering menjadi sorotan atas tiga tahun kepemimpinan SBY adalah kemiskinan yang tak kunjung lekang di tengah masyarakat.
Problem kemiskinan ini tampaknya disadari SBY. Paling tidak dalam RAPBN 2008 masalah kemiskinan menjadi perhatian khusus dan titik tekan yang hendak diselesaikan. Gerak ke arah tersebut tampaknya berjalin kelindan dengan menguatnya gerakan global antikemiskinan. Namun sejaumana upaya-upaya tersebut dapat meretas kemiskinan.
Selama ini persoalan kemiskinan cenderung diletakkan sebagai realitas yang taken for granted. Ia seakan terlepas dari realitas lain yang sesungguhnya memiliki garis senyawa dengan eksistensi kemiskinan, yaitu eksistensi orang-orang kaya. Hal ini menarik ditelaah karena menurut hasil riset yang dilakukan Merrill dan Capgemini yang dilansir di Hong Kong (16/10) Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah orang kaya tertinggi ketiga (16,0%) di kawasan Asia-Pasifik setelah Singapura dan India. Bahkan, pertumbuhan orang kaya Indonesia hampir dua kali pertumbuhan global yang hanya 8,3%. Fakta ini sejatinya menjadi pintu masuk untuk melihat sejauhmana korelasi antara tumbuhnya orang kaya dengan eksistensi kemiskinan itu sendiri.
Beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kaya dan miskin tidak perlu dipertentangkan. Yang diperlukan adalah jembatan yang menghubungkan antara keduanya. Pernyataan tersebut disampaikan pada peresmian Rumah Sehat yang diprakarsai Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa, di area Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/9).
Pernyataan SBY ini mengandung dua makna. Pertama, SBY melihat identitas kaya miskin sebagai sebuah keniscayaan (realitas alamiah) yang tak mungkin dielakkan. Kaya dan miskin merupakan kenyataan yang saling melengkapi. Karenanya, diperlukan langkah (jembatan) yang bisa menghubungkan rasa di antara dua entitas tersebut, sehingga tidak muncul kecemburuan akibat kesenjangan. Bahkan jembatan tersebut diharapkan bisa mengangkat derajat kehidupan kaum miskin.
Kedua, SBY melihat perlunya keterlibatan seluruh kekuatan di dalam masyarakat untuk menjembatani persoalan kaya-miskin. Rumah Sehat yang digagas BAZNAS dan Dompet Dhuafa merupakan salah satu contoh konkret upaya meretas jarak antara kaya dan miskin melalui pemberian pengobatan gratis. Di sinilah urgensi peran organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat, khususnya mereka yang tak berharta.
Kedua makna tersebut menyiratkan komitmen yang kuat bagi penyelesaian problem kemiskinan di negeri ini. Namun sejauhmana efektivitas komitmen tersebut? Di sinilah urgensi pendekatan komprehensif dalam membedah persoalan kemiskinan yang menghimpit di tengah kekayaan yang juga eksis.
Tiga perspektif
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial, persoalan diferensiasi baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial budaya, merupakan bagian dari realitas yang sarat makna (kepentingan). Dominasi dan hegemoni akan selalu mewarnai di antara ragam diferensiasi tersebut, termasuk dalam konteks relasi kaya dan miskin. Karenanya kedua entitas (kaya dan miskin) ini tidak bisa dilihat secara bipolar; hitam putih. Bahwa yang kaya benar karenanya dibela dan yang miskin salah karenanya diasingkan, atau sebaliknya. Pola pandang ini bersifat distorsif, stigmatis, dan merugikan salah satunya.
Persoalan kaya-miskin harus diletakkan dalam perspektif yang komprehensif dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi kaya-miskin terdistorsi dan penuh stigmatisasi. Paling tidak ada tiga perspektif dalam melihat relasi kaya-miskin. Pertama, perspektif budaya. Perspektif ini melihat persoalan kaya-miskin adalah karena nilai-nilai yang diintrodusir mengarahkannya pada terbentuknya identitas seseorang. Orang bisa menjadi kaya karena di dalam dirinya terbangun dorongan untuk kaya. Inilah yang oleh David McClelland disebut need for achievement (N-Ach). Dorongan ini kemudian membentuk sikap dan perilaku usaha untuk mendapatkan kekayaan tersebut. Nilai-nilai kaya ini bisa muncul dari berbagai faktor. Bisa karena pendidikan, juga bisa karena pemahaman keagamaan yang melihat kekayaan sebagai berkah dan cerminan kasih sayang Allah. Menurut perspektif ini, untuk mendorong tumbuhnya orang-orang kaya diperlukan rekonstruksi kesadaran agar masyarakat terdorong untuk melakukan aktivitas yang produktif dan menghasilkan banyak keuntungan.
Kedua, perspektif sistem. Pendekatan ini melihat kaya-miskin sebagai konsekuensi logis dari rangkaian kondisi (sistem) yang ada di lingkungan masyarakat. Struktur, termasuk kebijakan, sangat menentukan warna-warni tatanan masyarakat. Adanya lapangan kerja, tumbuhnya investasi, dan tersedianya tempat usaha yang ditopang oleh regulasi yang adil akan mendorong tumbuhnya kapitalisasi yang kuat, sehingga kesejahteraan dirasakan masyarakat. Kemiskinan menurut perspektif ini disebabkan oleh ketidakadilan struktural yang lebih berpihak (menguntungkan) pada yang kaya.
Ketiga, perspektif sintesis (kultural-struktural). Pendekatan ini melihat individu sebagai realitas dengan segala potensi yang inheren di dalamnya. Namun di sisi lain, ia hadir di tengah realitas eksternal yang mengungkung kehidupannya. Potensi-potensi dalam diri manusia berhadapan secara tak terelakkan dengan realitas eksternal tersebut. Di sinilah terjadi interaksi (internal dan eksternal) yang memicu munculnya obyektivasi. Proses obyektivasi ini merupakan hasil interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya. Karenanya persoalan kaya-miskin, menurut perspektif ini, tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Problem kaya-miskin tidak bisa direduksi menjadi persoalan kemiskinan semata. Banyak faktor yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan seseorang menjadi miskin atau kaya.
Memperkuat jembatan
Persoalan kaya-miskin menjadi kompleks karena hadir di negara berkembang. Negara dengan tingkat ekonominya yang masih minus harus memikirkan rakyatnya yang miskin. Inilah lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Masalah kaya-miskin menjadi berbeda ketika hadir di negara maju atau kaya. Negara dalam konteks ini dapat mengatasinya melalui penyediaan kebutuhan kaum miskin.
Relasi kaya-miskin di negara berkembang merupakan persoalan laten. Tingkat kekayaan masih berputar pada segelintir orang. Pertumbuhan ekonomi nasional baru sebatas catatan fenomenal dan statistikal, namun belum dirasakan secara faktual. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan Presiden Yudhoyono menekankan pentingnya keberpihakan yang sama antara pertumbuhan, kemiskinan, dan lapangan kerja (pro growth, pro poor, dan pro job).
Dalam tatanan sebuah negara, gerak sebuah masyarakat tidak bisa dilepaskan dari nafas kebijakan yang diambil pemerintah. Karenanya persoalan kaya-miskin tergantung pada sejauhmana komitmen pemerintah untuk menjembatani antara keduanya, bukan menyekat apalagi mempertentangkannya. Jembatan ini tidak bisa dipikul oleh pemerintah semata. Di samping karena keterbatasan anggaran, juga karena pemerintah masih harus bergulat dengan problem yang melilit dirinya yang tak kalah pentingnya untuk diselesaikan, seperti korupsi, reformasi birokrasi, dan penguatan lembaga-lembaga negara. Lebih dari itu, karena negara tidak mungkin lagi mengintervensi seluruh dimensi kehidupan rakyat yang begitu luas.
Karenanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus bisa menggerakkan kekuatan-kekuatan masyarakat agar bisa bergerak bersama pemerintah. Negara harus mampu membagi dan mendistribusikan agenda-agenda yang dihadapi masyarakat secara efektif bersama kekuatan di dalam masyarakat itu sendiri. Mereka itu adalah kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bersentuhan langsung dan menjadi simpul nafas masyarakat. Pada titik ini, eksistensi organisasi kemasyarakatan baik yang berbasis agama, sosial budaya, maupun profesi, menjadi sangat penting bagi revitalisasi pemberdayaan masyarakat.
Sinergi inilah yang harus diperkuat, sehingga tidak ada jarak antara pemerintah dengan rakyat. Inilah jembatan politik bagi pemerintah untuk menyapa rakyatnya secara efektif dan efisien. Kebersamaan antara lembaga pemerintah dengan lembaga-lembaga sosial akan meringankan beban tugas yang harus diselesaikan oleh negara. Dengan demikian, persoalan kaya-miskin bukan persoalan negara (kekuasaan) semata, tapi persoalan kita bersama untuk semua.*