Monografi Demokrasi Desa
Kompas, Senin, 14 Januari 2019
A. Bakir Ihsan
Menyaksikan pemilihan
kepala desa serentak di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 22 November 2018,
menyuratkan optimisme terhadap daya tahan demokrasi. Antusiasme warga yang
hadir di tempat pemilihan menjadi indikator tingkat partisipasi politik dalam
kontestasi elektoral di ranah lokal.
Pelaksanaan pemilihan
kepala desa serentak di sejumlah wilayah tidak hanya menambah kemeriahan
perayaan demokrasi. Pesta rakyat ini juga memupuk intensifikasi dan
ekstensifikasi interaksi politik antarwarga yang apabila dikelola secara baik
bisa menguatkan sistem demokrasi.
Desa sebagai struktur
paling bawah dalam organ negara menjadi basis penentu bagi perkembangan model
demokrasi. Karena itu, menjadi penting melihat dinamika pemilihan kepala desa
sebagai cermin dari mikrodemokrasi.
Gejala
arus balik
Demokrasi sebagai bagian
dari agenda reformasi sejatinya ikut menjawab agenda utama reformasi, yaitu
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Paling tidak, seluruh proses
perekrutan kepemimpinan, mulai dari tingkat desa sampai nasional, bergerak
dalam langgam yang akuntabel, transparan, dan meritokratif.
Dari penyelenggaraan
pemilihan kepala desa, seperti berlangsung di Kabupaten Grobogan, ada dua
fenomena yang cenderung akut dan patut mendapatkan perhatian karena bisa
mengarah pada pembusukan demokrasi (democratic
decay).
Pertama, suap politik.
Dalam pemilihan kepala desa seakan menjadi jamak, calon kepala desa memberikan
insentif kepada warga. Insentif mulai dalam bentuk pemberian uang, paket bahan
pokok, makan gratis, sampai penyediaan kendaraan (mobilisasi) pada hari
pemilihan menjadi pemandangan biasa.
Dari pantauan penulis,
beberapa calon kepala desa di Kabupaten Grobogan mendirikan tenda di rumah
mereka dengan makanan yang selalu siap dihidangkan untuk warga yang datang.
Pada hari pemilihan, beberapa mobil dengan poster calon kepala desa mengangkut
warga hadir di tempat pemilihan. Sebelumnya, warga mengaku mendapatkan
"serangan fajar" berupa uang dengan jumlah yang beragam. Menurut
laporan Kompas.com (23/11/2018),
pemberian uang oleh calon kepala desa kepada warga dalam pemilihan kepala desa
serentak di 222 desa di Kabupaten Grobogan itu bisa mencapai ratusan ribu
sampai jutaan rupiah apabila diakumulasi dalam beberapa kali pemberian.
Kedua, politik keluarga.
Dalam pemilihan kepala desa di Kabupaten Grobogan, begitu juga di beberapa
wilayah lainnya, baik di Jawa maupun luar Jawa, terdapat belasan pasangan suami
istri yang bersaing. Salah satu faktor yang menyebabkan munculnya politik
keluarga dalam pemilihan kepala desa secara serentak tersebut adalah Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014. Permendagri tentang
pemilihan kepala desa ini mengharuskan calon kepala desa minimal dua orang (Pasal
23). Peraturan ini mendorong beberapa desa yang hanya memiliki calon tunggal
memasangkan keluarganya (istri atau suaminya) sebagai calon pesaingnya.
Pelarangan adanya kotak kosong dalam pemilihan kepala desa memicu munculnya
kontestan nepotis.
Penerjemahan simplistis
atas permendagri memperkuat kecenderungan umum sirkulasi pergantian
kepemimpinan berputar antarkerabat, sebagai cikal bakal dinasti politik.
Ritual
politik
Gejala suap politik dan
politik keluarga seperti wabah yang mengalir dari hulu (pusat) sampai hilir
(lokal). Potret pemilihan kepala desa di atas memperkuat arah demokrasi pada
sisi prosedur semata. Mekanisme demokrasi diselenggarakan sekadar menggugurkan
kewajiban sebagai negara yang menahbiskan sistem demokrasi. Inilah yang disebut
ritual demokrasi dengan berbagai dampaknya.
Dampak tersebut adalah,
pertama, menguatnya pragmatisme. Dalam kasus pemilihan kepala desa, antusiasme
kehadiran warga di tempat pemilihan merupakan pilar prosedural demokrasi dan
ajang penentu pemenang kontestasi. Namun, dengan suap politik, kehadiran
pemilih menjadi partisipasi semu, terlebih kontestan yang bersaing
antar-keluarga. Pemilih hadir bukan digerakkan oleh orientasi dan kesadaran
diri tentang urgensi kepemimpinan berintegritas, tetapi lebih karena insentif
sesaat (pragmatis).
Kedua, matinya meritokrasi.
Kontestasi sejatinya seleksi berdasarkan merit system. Namun, dengan suap
politik, aspek kompetensi, kapabilitas, dan rekam jejak kandidat menjadi
terabaikan. Kontestasi berdasarkan adu gagasan dan program antarkontestan
sebagai pijakan warga untuk memilih tidak menjadi penting. Terlebih tema
kampanye yang disampaikan cenderung monoton. Bisa jadi fenomena ini menjadi
penyumbang lemahnya antusiasme masyarakat mengenal program para kandidat pada
Pemilu 2019. Sebagaimana hasil survei Kompas
(26/11/2018), 60 bahkan 70 persen responden dari kalangan tua dan muda
(milenial), dengan beragam latar pendidikan, belum memahami program-program
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) setelah dua
bulan masa kampanye.
Ketiga, toleransi terhadap
deviasi. Suap politik yang sering dan terus terjadi dalam kontestasi, bahkan
dalam proses birokrasi, melahirkan persepsi dan perilaku permisif terhadap
suap. Temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Indonesia Corruption Watch
(ICW) tentang tingkat toleransi publik terhadap suap dan gratifikasi yang
mengalami kenaikan (Kompas,
10/12/2018) menegaskan mengenai gejala yang berlangsung dalam pemilihan kepala
desa.
Keempat, lemahnya efikasi
politik. Suap politik dan politik keluarga menempatkan warga dalam tipologi
subyek. Warga tidak melihat dirinya sebagai aktor penting yang dapat menentukan
perubahan dan arah kebijakan. Masyarakat hanya bergerak pada ranah output,
menerima kebijakan dan segala konsekuensi dari kepemimpinan, tanpa memainkan
peran strategisnya pada ranah input, termasuk dalam menentukan terpilihnya
pemimpin yang berkualitas.
Kelima, lingkaran distorsi.
Suap dan politik keluarga merupakan rangkaian penyimpangan yang saling
mengait. Politik keluarga, menurut Edward C Banfield, memiliki kedekatan dengan
korupsi. Sebagaimana dikutip oleh Seymour Martin Lipset (2011), nepotisme
menutup ruang kelompok lain sekaligus mendistorsi ruang universal dan
kesetaraan (equality) dalam
demokrasi. Inilah yang disebut oleh Banfield sebagai familisme tak bermoral (amoral familism) yang menggejala dalam
kontestasi di berbagai tingkatan. Kepentingan terbatas para pemilik kuasa ini
pula yang menambah panjang rangkaian distorsi dalam bentuk korupsi.
Data statistik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPU) dalam 14 tahun terakhir (2004-2018) menunjukkan
grafik penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi mengalami kenaikan. Dalam
konteks kepala desa, Presiden Jokowi menyebut 900 kepala desa terjerat korupsi
(detik.com, 17/10/2017).
Peta
demokrasi desa
Dalam perspektif monografi
politik berbasis desa, gejala suap politik dan politik keluarga tersebut
menjadi akar berkembangnya gejala deviasi yang sama pada level yang lebih luas:
kabupaten, provinsi, dan nasional. Karena itu, penguatan desa menjadi sangat
penting untuk menganalisasi penyimpangan yang tidak hanya mengancam demokrasi,
tetapi juga kepercayaan pada institusi negara.
Penguatan desa harus
didasarkan pada pemetaan sosial politik desa atau yang saya sebut sebagai
monografi demokrasi desa. Monografi demokrasi desa bukan sekadar potret
demografis atau infrastruktur desa. Monografi ini berpijak pada peta orientasi
dan kecenderungan sikap (rasa percaya) masyarakat desa terhadap tiga komponen
penting dalam budaya politik (civic culture),
yaitu individu, institusi, dan prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan
kolektif.
Tingkat kepercayaan
masyarakat desa terhadap individu dapat menjadi pijakan untuk melihat tingkat
toleransi warga terhadap perbedaan, baik agama, etnis, suku, maupun golongan,
termasuk pilihan politik. Walaupun di desa secara etnis maupun agama cenderung
homogen, tetapi terkait pemahaman, orientasi, dan pilihan politik bisa jadi ada
perbedaan yang apabila tidak dikelola secara baik dapat memunculkan gesekan dan
konflik. Dengan demikian, penguatan kepercayaan antar-individu dapat menguatkan
toleransi.
Kepercayaan warga desa
terhadap institusi terkait dengan seberapa kuat dukungan warga terhadap
keberadaan institusi desa sehingga berdampak pada stabilitas sistem. Rasa percaya
terhadap lembaga desa, selain dapat mengikis orientasi dan sikap permisif
terhadap beragam bentuk deviasi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga
bisa menumbuhkan masyarakat partisipatif.
Tidak kalah pentingnya
adalah kepercayaan warga terhadap norma atau prinsip yang menjadi landasan
kehidupan kolektif warga. Kepercayaan terhadap norma ini akan menguatkan
kohesivitas sosial desa sekaligus mencegah munculnya disorientasi yang
merongrong prinsip kebersamaan dalam kebinekaan.
Monografi demokrasi desa
tersebut menempatkan desa bukan sekadar wilayah kuasa yang diperebutkan oleh
kepentingan politik lokal maupun nasional. Desa adalah akar negara dengan
segala macam orientasi dan dinamikanya yang harus didengar melalui suara dari
bawah. Hanya dengan itu, proses demokrasi desa bertransformasi dari ritual
menjadi substansial, sekaligus menjadi akar politik nasional.